Merupakan judul dari “guratan pena” Bapak Zainal Arifin (ZA)
EMKA di “Kolom” majalah Al Falah. Ciri khas yang mafhum ditemukan pada halaman
akhir sebuah majalah biasanya terletak dari sudut pandang penulis yang lain daripada
yang lain.
Tengoklah halaman akhir dari majalah Suara Muhammadiyah.
Majalah dwi bulanan yang diterbitkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu
manghadirkan tagline “Ibrah” di lembar akhir dari majalah yang menjadi bacaan
wajib para kader Muhammadiyah itu.
Sementara MATAN, majalah bulanan yang diterbitkan Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, tak mau kalah dengan menyuguhkan “Risalah”
Prof. Dr. Syafiq A. Mughni di setiap lembar akhir halaman.
Ketiganya memberikan sudut pandang baru dalam memahami tema
yang sedang diangkat. Ada oase yang hadir diantara kepenatan kalimat yang dipaparkan
mulai halaman awal. Menariknya, secercah cahaya muncul pelan-pelan, tak
gemebyar terang.
*
Kembali ke tulisan Pak ZA, beliau menghadirkan tulisan
dengan gaya cerita keluarga. Mengenalkan Ayah, Ibu, Irvan, dan Putri. Dalam
judul tulisan “Biarlah Eyang Berproses” cerita mereka bermula dari obrolan
keluarga di dalam gerbong kereta.
Salah satu anggota keluarga “nyeletuk” tentang kondisi Eyang
yang usai dikunjungi dalam momen mudik. Bagaimana si Eyang masih mempertahankan
tradisi budaya jawa yang terhias dalam tiap “amalan” malam Jumat. Kebiasaan menyiapkan
air yang berisi bunga dan diletakkan di
ruang tamu. Sementara di sisi lain, Eyang juga tak pernah lupa dalam mengerjakan
perintah agama seperti salat, zakat, dan puasa.
Irvan kemudian nyeletuk dengan mengatakan jika perilaku Eyangnya tidak Islami dan menjadi
pelaku bid’ah. Cepat-cepat Ibu mengingatkan agar Irvan tidak cepat memvonis
seseorang itu ahli bid’ah, khurafat, dan sebagainya dengan jalan memperolok,
menghina, atau menyakiti perasaan mereka. Ayah kemudian angkat bicara, mengutip
ayat Al Quran surat An Nahl ayat 125 yang di dalamnya memuat pesan agar setiap
mukmin yang menyeru pada jalan Allah agar mengambil cara yang terbaik,
berbantahan pun juga dengan cara yang terbaik. Biarlah Allah yang memberi
hidayah, tugas manusia hanyalah menyeru pada jalan kebenaran.
**
Cerita diatas berkaitan dengan tutur kata seorang jamaah
musala yang berbagi kisah. Dia yang dulunya aktif mengikuti pengajian, aktif
berorganisasi, aktif dalam kepengurusan ta’mir musala, kemudian semangatnya
memudar, dan pelan-pelan hilang.
Harus diakui, tiap jamaah mempunyai kadar ilmu yang tidak
sama. Ada yang tingkat keilmuan dan kesadaran dalam pengamalannya tinggi,
sehingga ketika diingatkan ketika melakukan kesalahan dia kemudian menyadari
kekhilafan. Namun ada juga yang tingkat keilmuannya masih terbatas, yang masih
belum memahami dengan menyeluruh, mana yang menjadi syariat dan mana yang hanya
sebatas amalan yang dibuat-buat.
Cara mengingatkannya pun tidak bisa dengan jalan menghina,
memperolok, maupun menyindir yang itu malah membuat mereka merasa menjadi
kelompok yang terpinggirkan, dan akhirnya pelan-pelan tidak mengikuti
pengajian, meninggalkan musala, dan yang paling ekstrim adalah tidak mau
berhubungan apapun itu, baik bentuk, nama, dan rasa yang berbau organisasi.
Kesadaran saling menjaga perasaan antar jamaah, dan
menyadari tingkat keilmuan yang dimiliki mereka berbeda, wajib untuk ditanamkan
pada para warga persyarikatan, terutama pimpinan dan pengurus tingkat akar
rumput. Sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan keretakan berorganisasi
dapat dicegah. Maka, biarkanlah “Eyang” berproses..
*Jumat mubarakah di Ruang Guru SMP Muhammadiyah..
0 komentar:
Post a Comment