Mendung masih bergelayut di
langit kota pahlawan siang itu. Di tengahnya padatnya lalu lintas jalur
beraspal, tampak seorang pemuda dengan Ksatria Jepang merahnya melaju membelah
jalanan. Dengan sedikit tergesa, dia
memacu kuda besi keluaran tahun 2001-nya itu. “Waktu yang tersisa tinggal tiga
puluh menit,” ujarnya dalam hati seraya melirik G-Shock yang tersemat di
pergelangan tangan kirinya. Tiga puluh menit merupakan waktu yang cukup lama untuk
menempuh perjalanan dengan jarak yang tak sampai dua puluh kilo. Namun, dengan
kondisi jalanan yang padat dengan kendaraan yang merayap lajunya, membuat jarak
tempuh yang dirasa tak jauh, serasa berjam-jam lamanya.
Berangkat dari rumah kos yang
berada di wilayah barat kota Surabaya, seolah menjadi tantangan sendiri
baginya, Ya, Darwan, nama pemuda itu, tak hanya mengejar mimpinya untuk menjadi
sarjana. Dia mempunyai asa: meraih gelar sarjana tanpa “menengadahkan tangan
pada kedua orangtua!” Bukan maksud tinggi hati atau mengesampingkan peran kedua
orangtuanya yang senantiasa memanjatkan doa untuk kesuksesannya. Namun, ada
optimisme yang ingin dia bangun dengan kemandirian finansial. Prinsipnya, dia
tak ingin membebani kedua orangtuanya yang memang sudah banyak tanggungan. Maka,
sejak lulus Sekolah Menengah Atas, dia langsung menaikkan tiang harapan dan
memancangkan layar target: mendapatkan pekerjaan pertama!
Masih teringat betul di long therm memory-nya, pekerjaan pertamanya
saat itu adalah menjajakan produk telekomunikasi buatan luar negeri. Bukan di mal
atau pusat-pusat perbelanjaan mewah lainnya. Namun, di tempat-tempat umum
seperti SPBU, terminal, maupun di pinggir-pinggir jalan dekat keramaian yang
banyak lalu-lalang kendaraan. Tak sampai lama dia bertahan dengan pekerjaan
yang membuatnya tak makan seharian itu. Selain jarak tempuh perjalanan dari
tempat tinggal menuju lokasi yang cukup jauh, juga karena terdorong faktor beamoda
transportasi yang tak memadai. Untuk menuju lokasi tempat bekerjanya yang
berada di utara kota Pahlawan, dia harus
menengadahkan tangan kepada orang tuanya, lalu berangkat naik bus yang mengambil
start dari terminal kota Udang. Berbekal pemberian lembar dua puluh ribuan,
yang terkadang hanya cukup untuk PP (pulang-pergi). Dia pun akhirnya 'melarikan diri' dari pekerjaan pertamanya, yang ternyata baru diketahuinya bernama Salesman. Salesman
sehari tepatnya.
Setelah gugur dalam pekerjaan
pertamanya, dia masih memiliki tekad baja untuk meraih pekerjaan yang lebih baik.
Namun, dengan bekal lembar ijazah SMA, dan tak memiliki bekal keterampilan yang
memadai, lamarannya pun diedarkan pada lowongan-lowongan yang berkisar antara
buruh pabrik, waiter, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tak memiliki
kekhususan keahlian. Dari banyak surat lamaran yang ditujukan, tak sedikit pula
yang berlanjut dengan panggilan tes wawancara.
Salah satunya yang datang dari
perusahaan rokok multinasional yang berada di kawasan Pandaan. Surat lamaran
awalnya dia titipkan pada tetangganya yang kebetulan memberikan informasi bila
ada lowongan Pabrik Rokok Gudang Gambar yang lokasi pabriknya berada
bersebelahan dengan tempat tetangganya tersebut bekerja. Dengan semangat tujuh
enam, dia berangkat sendiri diiringi doa setulus hati dari ibunya.
Sore harinya dia pulang dengan
sedikit memendam kekecewaan. Setelah ditanyai ibunya,
bagaimana hasil tes wawancaranya, dia hanya menjawab pelan, “Gagal, Bu, susah
tesnya.”
“Lho, tesnya seperti apa, Nak..?”
tanya ibunya penasaran.
“Darwan khan nggak biasa merokok
Bu, tapi Darwan tadi disuruh untuk menciumi satu persatu jenis tembakau yang banyak
macamnya..”
“Wong nggak disuruh ngerokok, apanya yang susah Nak, tinggal
mencium satu persatu tembakaunya saja khan..??”
“Iya, Bu. Tapi masalahnya, belum
sempat mencium tembakaunya, Darwan tadi sudah muntah-muntah. Wong pas masuk
pertama kali ke pabriknya saja, kepala Darwan sudah pusing-pusing. Trus, langsung
disuruh pulang sama pewawancaranya.”
Sambil menghela nafas, ibunya
berkata: “Hmm.. alhamdulillah kalo gitu nak, mungkin rejekimu bukan di asap
rokok.” (bersambung)