Kemana keteladanan harus kucari? Di saat suri tauladan para pemimpin di negeri ini jauh panggang dari api?
Melangkahkan kaki ke kampus pun tiada berarti? Rebutan jabatan struktural, hingga dikotomi kelompok dan kepentingan seolah menjadi keabsahan pandangan.
Aku pun berlari ke televisi, berharap ada berkas cahaya menyinari. Sayang seribu sayang, tontonan nirkualitas dan membodohkan yang mendominasi. Parade ghibbah dan fitnah jadi sajian utama, korupsi para aparatur negara seolah tak ada habis-habisnya.
Melihatnya aku bosan, tombol power pun jadi sasaran. Kuambil surat kabar terkemuka diatas meja. Dan, lagi-lagi nafasku mendesah berat dan panjang.
Setali tiga uang dengan tabung kaca, aku belum menemukan sisi pencerah. Yang kuamati hanyalah para pemimpin negeri yang sibuk mencitrakan diri. Terkadang aku jadi heran, aqidah dengan mudahnya digadaikan. Walau kutahu, kinerja mereka luar biasa hebatnya.
Tapi lihatlah untuk urusan aqidah. Mereka-mereka luar biasa payahnya. Dengan ringan tangan mereka melakukan amalan yang tiada tuntunan. Berdalih popularitas dan kemajemukan, berbondong-bondong mereka berkumpul bersama melakukan amalan yang tak pernah dicontohkan.
Aku pun semakin dibuat bingung. Bangsa dan negara ini telah merdeka begitu lama, tapi mentalitas terjajahnya masih bersemayam dalam dada. Ada yang membanggakan perhargaan, tapi PR masih banyak berserakan. Ada yang menyuarakan kebenaran, tapi dibungkam dengan hawa nafsu dan kepentingan.
Rabbi, hanya kepadaMu kami kembali. Kubuka lemari dan kuambil buku besar yang kudapatkan beberapa tahun silam. Hanya dari buku yang berjudul Sirah Nabawi ingin kugali sebuah keteladanan. Alunan lagu Sajadah Panjang dari penyanyi aslinya pun kuputar. Terdengar jadul memang, tapi setidaknya, aku mendengar makna tersirat yang dalam.
* 1 Muharram di kampung halaman. Beberapa menit menjelang adzan maghrib.
0 komentar:
Post a Comment