Masjid itu bernama Al Millah. Masjid yang sering disebut Ustadz
Eko Asmanto pada kajian kitab Bulughul Mahram di Mushala kampung kami, Nurul Huda,
desa Gedang kecamatan Porong. Ustadz Eko, yang asli dari Kalimantan itu, memang
pernah menjadi warga Perumahan Pondok Jati, tempat Masjid Al Millah berada,
kurang lebih satu-dua tahun, sebelum akhirnya kembali ke Porong, tempat awal
beliau menancapkan tonggak dakwah.
Sering kami menyimak penuturan Ustadz Eko, jika beliau kerap
dimintai waktu oleh Pak Iskalam mengisi kajian pada Sabtu malam ba’da maghrib
di masjid Al Millah. Namun, beliau menyampaikan jika Sabtu malam ba’da maghrib
adalah ‘waktu khusus ‘ untuk kajian di Mushala Nurul Huda. Mushala yang ta’mirnya
adalah Abah Imam Moehasib, guru ngaji Pak Iskalam dulu. Namun jawaban Ustadz
Eko kadang sengaja ‘dilupakan’ Pak Iskalam, sehingga Ustadz Eko kerap ‘diiming-imingi’
tawaran mengisi kajian pada Sabtu malam di Al Millah, maka jawaban berikutnya Ustadz Eko pun cukup cerdas, “Monggo Pak
Iskalam sendiri yang menyampaikan ke Abah Asik, panggilan Abah Imam Moehasib.
Maka, sejak saat itu, tidak ada lagi ‘tawaran’ mengisi kajian tiap Sabtu malam
di masjid Al Millah.
Ustadz Eko sering menceritakan masjid Al Millah. Ketika
digambarkan semangat berjamaah masjid tersebut, kami sering membayangkan
bagaimana bentuk masjidnya, apa yang unik di dalamnya, dan lain sebagainya.
Maklum, saat kami masih ‘nyantri’ di Smanor, Pondok Jati adalah perumahan yang
sering menjadi tempat penjelajahan kaki kami. Entah itu saat kembali masuk ke
asrama, karena sebelumnya libur. Atau pada saat kita mau ke stadion Gelora
Delta untuk latihan fisik atau berenang di kolam renang GOR. Tapi yang namanya
Masjid Al Milllah, belum dikenal (atau memang saya yang belum mengetahuinya?).
Sampai akhirnya kami pun dipertemukan dengan masjid Al Millah.
Kesan pertama yang kami dapati adalah modern, bersih, dan nyaman. Masjid dengan
karpet warna merah, lembut, dan wangi. Masjid Al Millah sering menjadi magnet
tersendiri bagi para penuntut ilmu. Kajian disana hampir tiap hari ada.Pengisi
kajiannya juga beragam, dari Ustadz Menachem Ali, Yunan Daris, Bangun Samudra,
hinggga Ustadz Zulkifli Ali dan Arifin Ilham pernah mengisi kajian di masjid Al
Millah. Jamaahnya? Jangan tanya, saking banyaknya jika kami tiba disana setelah
adzan maghrib berkumandang pada Sabtu malam, maka dapat dipastikan, shaf terdepan
bukan menjadi tempat sujud kami. Bahkan, saking penuhnya jamaah yang hadir,
kami pernah tidak kebagian area dalam masjid. Alhasil, selasar sisi utara
maupun selatan masjid pun kami gunakan. Sering kami jumpai wali murid yang ikut
kajian disana. Jarak rumahnya dengan masjid Al Millah lumayan jauh. Seperti dari
Porong ke Candi. Namun, wali murid tersebut aktif kajian di masjid Al Millah,
bahkan anaknya menjadi salah satu pengurus remas di sana.
Kegiatan-kegiatan di masjid Al Millah, setidaknya
memperlihatkan jika masjid tersebut memperhatikan dengan benar spiritualitas
kaum urban. Lihat saja, disaat Sabtu malam Ahad, yang biasanya adalah waktu yang
menjauhkan diri dari Allah, khususnya para pemudanya, maka Al Millah
memfasilitasinya dengan menawarkan kajian. Jika besok adalah tahun baru, maka
sekali lagi, Al Millah mengadakan kajian pada malam tahun baru. Kemudharatan-kemaksiatan
dilawan dengan bentuk pendekatan spiritual-ruhiyah. Kami juga sering
terinspirasi bagaimana Masjid Al Millah, menawarkan suasana pedesaan/kampung
halaman pada saat perayaan hari besar Islam. Contohnya, Pawai Takbiran Idul
Adha dengan menggunakan obor untuk anak-anak TPQ masjid. Juga ada Tahfidz Camp,
para pesertanya juga umum, SD-SMP, pelaksanaannya kemarin pada saat bulan
ramadhan. Mereka diajak untuk menginap di tenda, dengan banyak kegiatan menarik
di dalamnya.
Dari mengikuti kajian itu kemudian kami mengenal sosok yang
sering menjadi imam shalat berjamaah. Dialah Pak Iskalam, warga asli kampung
kami, desa Gedang Porong, dan teman ngaji Bapak kami yang sama-sama menjadi
murid Abah Imam Moehasib di musholla Nurul Huda. Suara beliau yang khas ketika menjadi imam sering menginspirasi kami untuk
‘menduplikasinya’ saat kami berkesempatan menjadi imam shalat. Guru-guru kami di
sekolah juga banyak bercerita tentang Pak Iskalam dan kiprahnya. Termasuk kiprahnya
dalam aksi bela Islam 1-3 di Jakarta yang tidak pernah abstain.
Jumat, 10 Dzulhijjah 1438 H, beliau dipanggil kembali ke
rahmatullah. Ketua takmir masjid AL Millah itu di akhir hayatnya masih sempat
berkutat dengan urusan umat. Kini tuntaslah sudah amanah beliau. Namun, kiprah
dan semangat yang ditorehkannya selama hidup akan tetap terus menginspirasi. Selamat jalan Pak Iskalam. Allahummaghfirlahu, allahumma tsabbithu..
Porong-Bulu, 10 Dzulhijjah 1438 H/ 1 September 2017