Menjelang kemerdekaan, perlu kita mereformasi diri. “Merevolusi
mental,”kata Pak Jokowi. Agar kemerdekaan lebih bermakna dan menjadi tonggak
perubahan, baik bagi diri sendiri maupun untuk khalayak. Bukan itu saja, namun
juga membredel niat pada khittahNya: beribadah.
Beribadah dengan tujuan vertikal, dan tentu efek horizontal
tidak lain agar bermanfaat untuk umat. Utamanya memberikan inspirasi dan
berbagi pengalaman. Lantas, mengapa
harus dengan tagline menulis atau
mati? Nggak ada yang lebih serem, hehe..
Adalah Much. Khoiri dengan karyanya Pagi Pegawai Petang
Pengarang (P4). Berserak diantara buku baru yang barusan diborong tim
Perpustakaan Musasi saat pengadaan buku baru. Tulisan dosen Fakultas Bahasa dan
Sastra (FBS) Unesa itu renyah untuk dikunyah, eh dibaca. Buku yang baru terlahap setengahnya itu memberi efek
kejut. Melecut diri agar terus-menerus menulis. Tiada hari tanpa menulis,
menulis setiap hari. Ibarat makanan, jika tidak makan ya mati. Begitulah.
Slogan tersebut juga mengadopsi semangat dari dosen bahasa
Inggris itu agar ghirrah dalam menulis tetap menyala dan membara dalam dada.
Menurut Pak Khoiri, tak ada teknik khusus dalam menulis. Hanya butuh tekad dan
keistiqomahan. Selain itu juga harus membulatkan niat dan harus mau keluar dari
zona nyaman, keterbatasan waktu adalah salah satunya. Khusus poin terakhir, keterbatasan
waktu seringkali menjadi kambing hitam. Sering digaungkan ketika ditanya ihwal
ketidakberdayaan dalam menulis produktif, atau dalam istilah lain istiqomah
dalam jalalan menulis.
Menulislah dan terus menulis, pesan beliau acap kali dalam
buku bergizi tersebut. Dengan selalu menulis, maka teknik menulis akan
terbentuk dengan sendirinya. Barangkali kita juga harus melek fakta, jika bakat
menulis hanya menyumbang 5%, sisanya yang lain disebar dengan keberuntungan 5%
dan kerja keras 90%. Atas dasar tersebut, kita harus meyakini jika tidak ada
yang tidak mungkin dengan kepiawaian menulis. Menulis atau menjadi penulis atau
pengarang bukan hanya milik sastrawan atau jurnalis. Banyak dari mereka—yang
kata Pak Khoiri lintas profesi—bergelut dengan dunia tulisan.
Fakta tersebut nampaknya semakin membuat siapa saja yakin,
jika menulis tidak memandang kasta, suku, atau darimana dan berasal dari siapa kita
dilahirkan. Keturunan darah biru atau darah putih nampaknya hanya menjadi
penghias, bukan modal. Karena menulis tidak membutuhkan itu.
Saya termasuk salah seorang yang menjadi lintas profesi,
dari mahasiswa-pekerja menjadi seorang pendidik-guru. Lika-liku perjalanan yang
akhirnya menjadi pendidik di sekolah menengah pertama—dan itu belumlah final,
menurut saya, hehe—membuat saya berpikir untuk sedikit membagi kisahnya.
Pengalaman selama menjadi mahasiswa-pekerja. Suka dukanya
menjadi anak kost atau bagaimana rasanya ketika diterpa hujan maupun diterjang
panas kala perjalanan dari kos-kosan menuju Graha Pena,tak lain merupakan
inspirasi menulis yang memang Allah limpahkan ayat-ayat iqra’nya. Tinggal
bagaimana kita menjaring dan mengejawantahkan dan menuangkannya dalam lekuk-lekuk
tulisan yang indah dan bermakna.
Pertanyaannya sekarang, bisakah diri ini istiqomah
menjalankan itu semua. Bisa, insya Allah bisa! Dengan memenej kembali waktu,
dari membuka mata sampai menutup mata kembali, pasti ada yang ‘tersangkut’
dalam ‘jaring’ memori dan ‘tertuang’ dalam ‘kaleng’ keyboard.
Jika seperti itu, selayaknya kita memekikkan kata merdeka
dengan antusias, ketika nanti ada karya kita yang terbit. Dibaca khalayak, dan
menjadi prasasti untuk anak cucu. Bismillah.(*)
Perpus Musasi, 150816
Terjerembab Inspirasi_
Terjerembab Inspirasi_
0 komentar:
Post a Comment