Bambu. Apa yang anda bayangkan ketika menyebut nama rumput
ajaib tersebut? Mungkin dari kita ada yang langsung membayangkan sebuah alat
yang digunakan arek-arek Suroboyo ketika melakukan perlawanan terhadap sekutu?
Atau ada pula pikiran kita melanglangbuana pada zaman ketika batu bata keberadaannya
masih sangatlah terbatas? Jika masih belum ngeh
atau masih mengernyitkan dahi ketika ditanya tentang bambu, sepertinya kita
masih memperbudak bambu. Lho?!?
Surga bambu salah satunya adalah Indonesia. Banyak jenis
bambu yang tumbuh subur di tanah gemah ripah loh jinawi itu. Dari beragam jenis
bambu yang trubus, masing-masing mempunyai fungsi dan manfaat yang berbeda.
Sayangnya, dalam gemebyar tanamanan bambu di nusantara,mayoritas masyarakat masih
enggan untuk memanfaatkan bambu secara maksimal.
Bayangkan, sejak zaman penjajahan hingga sebelum reformasi
digulirkan, bambu hanya menjadi komoditi yang belum bernilai ekonomis. Paling
banter dalam catatan sejarah, ketika bambu—yang sudah diruncingkan—menjadi senjata
andalan melawan tentara sekutu, dan kini dibuatkan monumen untuk mengenangnya.
Sekedar itu? Iya! Atau kalo tidak, pernah menjadi kebutuhan pokok masyarakat
sebelum mengenal kemodernan dengan memasangnya pada dinding maupun
langit-langit rumah. Nasib bambu masih merana, hingga kini.
Membaca berita Jawa Pos kian membuat hati ini miris. Ketika
bambu-bambu kita dimanfaatkan Malaysia untuk membangun masjid bambu yang konon
nilainya mencapai milyaran. Ya, di tanah jiran, bambu menjadi digdaya. Mereka
menggunakan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan komoditi yang ramah lingkungan
untuk pembangunan. Para pakar bambu di datangkan dari Jogjakarta. Banyaknya
bambu jangan dibilang, panjang bambu 12 meter dikirim hingga tiga kontainer! Lagi-lagi
kita tertinggal. Angka milyaran itu saya kira sebanding dengan ketahanan bambu
yang katanya bisa awet hingga 70 tahun. Super!
Kita harusnya tidak kalah. Kita pun tak semestinya
tertinggal. Potensi sumber daya bambu kita melimpah. Pakar kebambuan dari
berbagai daerah pun tak pernah kehabisan stok. Hanya, ketika kita bicara tentang
mentalitas, kita akui jika memang menjadi kelemahan kita. Mentalitas kita masih
belum menghargai para pakar yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk meneliti
bambu. Kita—untuk tidak menyalahkan pemerintah—seringkali abai dengan nasib mereka.
Maka ketika banyak negara memanfaatkan kebrilianan pikiran mereka, kita hanya
bisa menonton, sambil menghisap jari kelingking.
Mentalitas kita pun masih sering terjajah dengan lebih
memandang hijau rumput hasil karya negara lain. Komoditi dalam negeri acapkali
menjadi terpinggirkan hanya gegara terlampau seringnya kita silau dengan pelbagai
produk bermerk yang berlabel impor. Pikiran kita masih tersugesti, jika produk
impor yang mahal pastilah bermutu baik dan awet. Produk sendiri dan buatan
dalam negeri nanti dulu.
Itulah fakta. Kita hidup di negara dengan mentalitas
terjajah. Para peneliti bambu sedih ketika mendengar stigma masyarakat kita.
Mereka—masyarakat kita—menganggap bambu hanya diperutukan hanya untuk orang
miskin.
Jangan nterpana jika tiba saatnya kita disentakkan dengan
akselerasi negeri-negeri jiran yang dengan leluasa mengekploitasi kekayaan alam
kita, disaat yang sama kita masih menutup mata dan telinga.
Maafkan para pahlawan, kami masih mengisi kemerdekaan dengan
cara-cara yang kurang substantif. Kami hanya mampu beli bambu untuk memasang
bendera, umbul-umbul, dan kerlap-kerlip lampu jalanan. Kami belum mampu
melangkah mengangkat bambu seperti dulu. Jika dulu dalam keterbatasan, bambu
mampu merebut kemerdekaan. Kini, bambu hanya komplementer. Dibutuhkan dan
digunakan dalam momen-momen tertentu..
Salam bamboe,
Bulusidokare, 160816
0 komentar:
Post a Comment