Hasil pengukuran PISA (Programme for International Student Assessment) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-69 dari 76 negara dalam hal pembelajaran Matematika dan IPA. Salah konsep pembelajaran adalah salah satu biang anjloknya peringkat Indonesia dalam pengukuran kemampuan siswa tersebut. Selain miskonsepsi dua mata pelajaran tersebut, dalam keterangannya juga disebutkan pada pembelajaran Bahasa Indonesia, dimana kesalahan konsepnya terletak saat anak didik kesulitan dalam menyimpulkan wacana bacaan dengan kata-kata sendiri (Jawa Pos, 22/10).
Permasalahan dalam menyimpulkan bahan bacaan dan menuliskannya kembali menggunakan kata-kata sendiri, setidaknya menurut Hernowo Hasjim dalam kesempatan Seminar dan Lokakarya Menulis Kreatif, Ahad (18/9) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur salah satu sebabnya adalah minimnya partisipasi siswa untuk membaca yang bermakna. Mengikat makna adalah konsep membaca yang bertujuan memberi dampak dari apa yang kita baca.
Konsep mengikat makna yang dicetuskan pria yang sehari-harinya bekerja di Mizan itu dapat diartikan dengan memadukan kemampuan membaca dan menulis secara bersama. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang terkait dan saling berkelindan. Keduanya dapat bermakna memasukkan (membaca) dan mengeluarkan/mengalirkan (menulis). Penekanan terutama pada anak-anak dalam membaca, dengan tidak hanya menggunakan brain memory saja. Membaca dan menulis harus berada pada fase muscle memory. Ketika seseorang membaca teks yang ‘bergizi,’ maka dia akan menjadi produser teks berikutnya.
Ketika menulis cerita maka dominasinya adalah otak kanan. Sebaliknya ketika menulis sebuah karya ilmiah atau penelitian, maka kecenderungan menggunakan otak kiri lebih besar. Menulis menurut Hernowo adalah mengalirkan dan membebaskan pikiran pada lembar kertas atau layar laptop dan sejenisnya.
Dalam kesempatan yang diikuti ratusan pendidik yang tergabung dalam ikatan guru Indonesia (IGI) tersebut, beliau memberikan pemahaman, dalam aktivitas menulis yang dipentingkan adalah prosesnya. Di dalam proses tersebut, ada dua fase yang dilalui: merasakan mengetik (bila menggunakan laptop) dan merasakan emosi. Jadi, ketika kita menuliskan sesuatu, maka yang membedakan tulisan kita dengan tulisan orang lain terletak pada gagasannya.
Hernowo kemudian memberikan contoh, bagaimana aktivitas membaca artikel yang bermakna. Menurutnya, salah satu cara untuk mengikat makna adalah dengan menandai bacaan, menambahi catatan, atau memberikan pengingat dari bahan bacaan yang kita baca.
Dalam seminar dan lokakarya tersebut, setidaknya diberikan tiga jenis tahapan dalam latihan menulis. Tahap pertama adalah latihan menulis untuk membuang. Penekanan pada latihan pertama adalah mengalirkan tulisan selancar-lancarnya. Tidak boleh ada hambatan, walau itu salah ejaan. Jadi ketika salah ketik, maka biarkan saja, harus ada garis yang jelas antara menulis dan mengedit. Pesan dalam latihan pertama: menulis tidak boleh dalam keadaan tegang. Pada tahap pertama para peserta diberi kebebasan menuliskan apapun dalam waktu lima menit.
Tahap kedua adalah menulis dengan mengikat makna. Menuliskan poin demi poin yang menarik dari sebuah artikel. Peserta yang sudah diberi selembar artikel dari koran kemudian diminta untuk menandai atau membuat catatan. Selanjutnya poin dan catatan tersebut dituliskan dengan kata-kata sendiri pada lembar kertas atau laptop.
Ketiga, menulis dengan topik yang disukai. Pada tahap ini, topik lebih detail daripada tema. Topik bisa bermacam-macam, dari kuliner, kesehatan, parenting, dan lain-lain. Poin penting dari kualitas pikiran yang akan kita tulis dapat dilihat dari topik (materi) dan gagasan (unik). Dalam tahap yang ketiga ini, eksplorasi pikiran kita pada saat mencari sisi unik dan detail pada topik yang hendak kita tulis, mutlak untuk dilakukan.
Tidak ada kesempuranaan tanpa latihan. Pesepakbola seperti C. Ronaldo juga harus tiap hari latihan untuk menjadi pemain yang berkelas. Begitupun dengan menulis. Mengalokasikan sepuluh menit untuk membaca dan lima menit menulis tiap harinya dapat meningkatkan kemampuan fisik dan non-fisik kita saat menulis.
Muara dari hasil pengukuran PISA menyentak kesadaran kita bersama. Ada amanah super berat untuk menggalakkan anak-anak, para peserta didik kita, yang notabene merupakan generasi emas bangsa agar melek literasi. Setidaknya, goal literasi yang tiap hari dilakukan bukan hanya sebatas rutinitas harian tanpa arah. Harus ada trisula tujuan dalam literasi: pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.
Permasalahan dalam menyimpulkan bahan bacaan dan menuliskannya kembali menggunakan kata-kata sendiri, setidaknya menurut Hernowo Hasjim dalam kesempatan Seminar dan Lokakarya Menulis Kreatif, Ahad (18/9) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur salah satu sebabnya adalah minimnya partisipasi siswa untuk membaca yang bermakna. Mengikat makna adalah konsep membaca yang bertujuan memberi dampak dari apa yang kita baca.
Konsep mengikat makna yang dicetuskan pria yang sehari-harinya bekerja di Mizan itu dapat diartikan dengan memadukan kemampuan membaca dan menulis secara bersama. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang terkait dan saling berkelindan. Keduanya dapat bermakna memasukkan (membaca) dan mengeluarkan/mengalirkan (menulis). Penekanan terutama pada anak-anak dalam membaca, dengan tidak hanya menggunakan brain memory saja. Membaca dan menulis harus berada pada fase muscle memory. Ketika seseorang membaca teks yang ‘bergizi,’ maka dia akan menjadi produser teks berikutnya.
Ketika menulis cerita maka dominasinya adalah otak kanan. Sebaliknya ketika menulis sebuah karya ilmiah atau penelitian, maka kecenderungan menggunakan otak kiri lebih besar. Menulis menurut Hernowo adalah mengalirkan dan membebaskan pikiran pada lembar kertas atau layar laptop dan sejenisnya.
Dalam kesempatan yang diikuti ratusan pendidik yang tergabung dalam ikatan guru Indonesia (IGI) tersebut, beliau memberikan pemahaman, dalam aktivitas menulis yang dipentingkan adalah prosesnya. Di dalam proses tersebut, ada dua fase yang dilalui: merasakan mengetik (bila menggunakan laptop) dan merasakan emosi. Jadi, ketika kita menuliskan sesuatu, maka yang membedakan tulisan kita dengan tulisan orang lain terletak pada gagasannya.
Hernowo kemudian memberikan contoh, bagaimana aktivitas membaca artikel yang bermakna. Menurutnya, salah satu cara untuk mengikat makna adalah dengan menandai bacaan, menambahi catatan, atau memberikan pengingat dari bahan bacaan yang kita baca.
Dalam seminar dan lokakarya tersebut, setidaknya diberikan tiga jenis tahapan dalam latihan menulis. Tahap pertama adalah latihan menulis untuk membuang. Penekanan pada latihan pertama adalah mengalirkan tulisan selancar-lancarnya. Tidak boleh ada hambatan, walau itu salah ejaan. Jadi ketika salah ketik, maka biarkan saja, harus ada garis yang jelas antara menulis dan mengedit. Pesan dalam latihan pertama: menulis tidak boleh dalam keadaan tegang. Pada tahap pertama para peserta diberi kebebasan menuliskan apapun dalam waktu lima menit.
Tahap kedua adalah menulis dengan mengikat makna. Menuliskan poin demi poin yang menarik dari sebuah artikel. Peserta yang sudah diberi selembar artikel dari koran kemudian diminta untuk menandai atau membuat catatan. Selanjutnya poin dan catatan tersebut dituliskan dengan kata-kata sendiri pada lembar kertas atau laptop.
Ketiga, menulis dengan topik yang disukai. Pada tahap ini, topik lebih detail daripada tema. Topik bisa bermacam-macam, dari kuliner, kesehatan, parenting, dan lain-lain. Poin penting dari kualitas pikiran yang akan kita tulis dapat dilihat dari topik (materi) dan gagasan (unik). Dalam tahap yang ketiga ini, eksplorasi pikiran kita pada saat mencari sisi unik dan detail pada topik yang hendak kita tulis, mutlak untuk dilakukan.
Tidak ada kesempuranaan tanpa latihan. Pesepakbola seperti C. Ronaldo juga harus tiap hari latihan untuk menjadi pemain yang berkelas. Begitupun dengan menulis. Mengalokasikan sepuluh menit untuk membaca dan lima menit menulis tiap harinya dapat meningkatkan kemampuan fisik dan non-fisik kita saat menulis.
Muara dari hasil pengukuran PISA menyentak kesadaran kita bersama. Ada amanah super berat untuk menggalakkan anak-anak, para peserta didik kita, yang notabene merupakan generasi emas bangsa agar melek literasi. Setidaknya, goal literasi yang tiap hari dilakukan bukan hanya sebatas rutinitas harian tanpa arah. Harus ada trisula tujuan dalam literasi: pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.
Ditulis untuk artikel Pena Guru Musasi Magazine edisi 3/Desember 2016