Ada perasaan iri* ketika saya mendengar
cerita dari seorang kawan lama yang sudah menyeleseikan S-1 jurusan informatika
di Institut Teknologi Bandung
(ITB). Setelah mendapatkan gelar sarjana strata satunya, ia berencana akan melanjutkan
jenjang S-2, tak tanggung-tanggung negeri Samurai-Jepang menjadi jujugannya. Dialah
Ivan Ibnu Alim, sahabat lama, yang dulu, ketika sama-sama berada di bangku
sekolah dasar, kami juga menuntut ilmu wal-akhira
di Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) di musala kampung kami, Musala Nurul Huda Kelurahan
Gedang Kecamatan Porong.
Sore itu, kami bertemu di
musala kenangan ketika kami sama-sama mengaji dulu itu, saat kami hendak
melaksanakan salat Magrib berjamaah. Ia
baru saja tiba di kampung halaman, setelah bermukim sekian lamanya di kota kembang. Cukup lama
tak berjumpa dengan kawan karib saya tersebut. Maklum kami sama-sama asyik
dengan kesibukan sendiri-sendiri. Intensitas kami bertemu pun semakin jarang,
karena saya lebih banyak ber-tholibul
ilmi dan rizqi di kota pahlawan, Surabaya, sehingga jarang
atau sepekan sekali pulang dan kembali dari ‘perantauan’ ke kampung halaman. Sedangkan
Ivan, karena jarak Bandung-Surabaya ‘hanya’ beratus-ratus kilometer, ia pun
bisanya bersambang kangen dengan sanak keluarga, tetangga rumah dan kawan lama
saat liburan semester tiba. Terkadang, kami lebih banyak mendapatkan momentum yang
kurang pas untuk dapat sekedar bertemu dan bertukar cerita dan pengalaman.
Misalnya saja saat Ivan sedang liburan di rumahnya, saya sedang ada tantangan
dengan tugas kuliah atau ada kegiatan di luar kota. Seperti saat libur hari
raya Idul Adha kemarin, kebetulan saat itu, saya ambil bagian dalam kepanitiaan
bakti sosial Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri
Surabaya(IMM-Unesa) untuk menyalurkan hewan kurban di salah satu desa terpencil
di daerah dataran tinggi Nganjuk, tepatnya di desa Blengko, Kecamatan
Srono-Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Karena keterbatasan sinyal telekomunikasi
didaerah tersebut, sehingga saya tidak dapat mengabarinya jika saat itu saya
sedang berada di daerah Nganjuk. Sebelumnya ia mengabari jika akan pulang dari
Bandung dan berlibur kembali ke kota lumpur selama sepekan lebih. Karena ada
liburan, katanya saat itu di facebook dan sms yang saya terima saat itu.
Dulu
sebenarnya kami satu angkatan di TPQ, saya pun masih ingat ketika dulu di TPQ
ada kegiatan ekstra Pencak Silat(TPQ juga ada ekstranya lo..) Tapak Suci Putera
Muhammadiyah (salah satu perguruan silat di Indonesia-red), sampai-sampai kami
dapat mengikuti ujian kenaikan sabuk kuning di Bangil-Pasuruan. Sebuah pengalaman yang tak
terlupakan saat itu, mengingat betapa susah dan gigihnya kami untuk mendapatkan
sebuah ‘sabuk’. Namun, sebenarnya bukan sabuk semata yang membuat proses
mendapatkannya dibuat sulit dan susah, karena sabuknya hanya seperti
sabuk-sabuk olahraga beladiri lainnya yang bahannya dari kain biasa yang
didalamya ada busa (jadi kelihatan lebih tebal) plus tidak ada
kekuatan-kekuatan lain selain kekuatan Sang Maha Kuasa (lilla hi ta’ala..amin).
Tapi hal itu murni karena
dalam proses mendapatkannya ada filosofi, ketika kita ingin mendapatkan sesuatu
hal dibutuhkan pengorbanan, kerja keras dan perdjoeangan! Tak jarang, untuk
mendapatkan sebuah sabuk kami harus melewati kuburan pada tengah malam, diistilahkan
dengan jurit malam (melatih mental), berjalan kaki berkilo-kilo meter melewati
halal rintang (melatih fisik), belum santapan push-up, sit-up yang menjadi hal
wajib. Yang menarik, selain sisi mental fisik yang dilatih seperti yang saya
sebutkan diatas, di perguruan tapak suci, juga ada ujian tulis tentang ilmu
agama. Wuiih..lengkap dech kalo dinilai! Sayang, kebersamaan dengan perguruan
Tapak Suci harus diakhiri seiring dengan hijrahnya sosok pelatih kami yang
bernama Kak Wildan, ke Pulau Dewata (ada tawaran pekerjaan-red). Praktis, sejak
saat itu, kami tidak pernah lagi latihan. Namun, sabuk kuning itu tetap saya
simpan sebagai kenangan Perdjoeangan, mungkin Ivan juga setali tiga uang.
Kembali ke masa
selanjutnya, yaitu masa ketika lepas dari sekolah dasar. Kami sudah pindah
haluan masing-masing. Masa SMP lebih banyak berkutat di wilayah kecamatan,
sementara Ivan sudah melanglangbuana di wilayah kabupaten, bahkan saat SMA dia
sudah berhasil masuk sekolah favorit nomor satu di Sidoarjo, SMA Negeri 1
Sidoarjo (Smanisda). Sementara saat itu, saya harus menelan pil pahit kegagalan
masuk SMK Negeri 1 Sidoarjo, dan harus merelakan diri terdampar di sekolah swasta
di kawasan perbatasan, SMK Walisongo, Gempol-Pasuruan, sebelumnya akhirnya
bangkit dan lolos tes untuk masuk SMA Negeri Olahraga Jawa Timur (Smanor
Jatim). Mungkin kalo dikalkulasi secara de
jure, sekolah saya (Smanor-red) lebih “unggul“, dilihat dari struktur penanganannya
langsung di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim), sedangkan
Smanisda Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (Pemkab Sidoarjo), alias beda tingkat dan
level sedikit lha..hehe.. Namun, secara de
facto, prestasi Smanor ‘hanya’ unggul di bidang olahraga, karena sekolah
kami langganan mencetak atlet juara Kejurnas,
PON, maupun Sea Games dan Olimpiade. Jika dibandingkan Smanisda yang ungul di bidang sains, dan sudah
menjuarai beberapa kejuaraan atau olimpiade (di bidang sains dan teknologi
tentunya-red). Hitungan kasarnya memang tidak dapat di lihat siapa yang unggul,
karena bidang garapannya pun beda. Yang menyamakan hanya satu, yaitu tenaga
pendidik atau gurunya. Ya, karena belum ada tenaga pendidik, ketika didirikan
pasca Pekan Olahraga Nasional tahun 2000 silam, maka beberapa tenaga pendidik
yang mengajar di Smanisda diperbantukan mengajar di Smanor. Sampai saat ini,
rata-rata mayoritas guru pengajar di Smanor, dulunya merupakan guru pengajar di
Smanisda. Sangat beruntung sebenarnya para siswa Smanor dapat arahan belajar
langsung dari para guru Smanisda yang notabene merupakan sekolah favorit nomor satu di
Sidoarjo.
Namun, ‘keunggulan’ menurut
penilaian saya sendiri tersebut hanya bersifat sementara, karena selepas lulus
dari Smanisda, Ivan langsung melebarkan sayapnya hingga ke kota
fashion, Bandung.
Hingga akhirnya diterima di ITB jurusan Sistem Informatika. Keputusannya untuk
mengembangkan sayap hinga mendekati ibu kota,
tak lain karena ingin mengikuti jejak kakaknya, Favian Dewanta, yang setahun
sebelumnya berlabuh di STT Telkom Bandung.
Sampai saat itu dan bertahan hingga kini, penilaian saya terhadap Ivan sudah
jempol dua alias luar biasa. Saya mengakui segala keunggulannya dan mengakui segenap
kelebihannya. Ivan sudah membuktikan bahwa kecerdasan itu butuh konsistensi,
kerja keras dan semangat berdjoeang untuk dapat mempertahankannya. Ia membuktikannya saat mulai Sekolah Dasar, menengah pertama, hingga SMA. Dan
kini saat menyelesaikan strata satunya di sebuah perguruan tinggi yang juga
menjadi kampus favorit seluruh anak negeri. Di waktu senggangnya menunggu tes
seleksi beasiswa ke Jepang, ia pun sibuk menjadi asisten dosen dalam sebuah
penelitian.
Doa
dan dukungan moril untukmu selalu kawan..!
Semoga
kepakan sayapmu semakin lebar hingga negeri Samurai Jepang..
(* dua sifat iri yang diperbolehkan Islam yaitu dalam hal bersedekah dan menuntut ilmu)
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang
diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan
seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan
mengajarkannya. (HR. Bukhari)