Siang itu aku berangkat ke kota pahlawan, bukan untuk ikut kirab hari santri yang masih kontroversi, tapi aku pergi ke pusat elektronika yang ada di kota buaya, menunaikan amanah dari mamakku.
"Le, tolong antar adikmu beli laptop. Kasihan dia, tugas-tugasnya banyak."
Kata-kata lembut itu mengalir pelan dan dalam.Terngiang betapa perjuangan Bapak dan Ibu yang bekerja keras untuk dapat mengumpulkan rupiah demi rupiah agar dapat membelikan adik laptop baru.
Pikiranku yang masih membayangkan nasihat ibu, tertimpuk pada barisan bendera partai yang berjajar di tepi jembatan ketika aku melintasi layang jenggolo. Ada yang mengusik mata, ketika bendera partai itu bersanding dengan bendera ormas yang menjadi jalan jihadku. Nasib tidak lebih baik karena disamping kalah ukuran, juga tertinggal dalam pandangan marketing. Tiang bendera partai lebih tinggi, kibarannya lebih elegan.
Sering kami melihat pemandangan seperti itu. Bendera ormas yang dipasang asal-asalan, asal nempel. Dilihat dari segi estetika sangat kurang. Belum lagi yang dengan asal dipaku di pohon. Termehek-meheknya kita disitu. Untungnya masyarakat kota udang tidak sereaktif warga urban.
Kadang kita juga iri dengan beberapa ormas yang notabene sempalan, namun sangat menjual. Banner dipasang begitu elegan di tepian jalan, tanpa mengusik kerindangan tanaman. Dari sisi marketing terutama branding sudah didapatkan.
Nah, kita yang konon menjadi organisasi modern masih sangat konvensional dalam sisi publikasi. Kita tidak dapat menyalahkan sebagian kemudian membenarkan yang lainnya, karena organisasi ini adalah milik umat. Kita jaga bersama. Namun, keberlimpahan sumber daya yang unggul belum ditangkap para stakeholder 'kasta tertinggi' sebagai sebuah potensi. Padahal bila mau membuka mata, ada banyak bibit-bibit potensial yang apabila dipoles dengan sedikit motivasi dan dorongan menjadi sebuah keunggulan.
Saya jadi terngiang tulisan Munif Chatib pada bukunya "Sekolah Manusia", pada halaman prakata dia menyampaikan pandangannya yang kurang lebih isinya adalah tentang non-muslim yang mengambil banyal faedah dari Islam. Ibarat sumur. Islam adalah mata air yang tak kering. Non-muslim sering menimba dan mengambil air itu dengan pompa. Sedangkan kita, umat muslim mengambil air itu bukan dengan pompa, tapi dengan sebuah timba, bocor pula. Na'udzubillah.
Kata praktisi pendidikan asal kota udang itu, kita kalah dalam metodologi. Sehingga dalam segi yang lebih luas, mereka (non-muslim) sudah berlari kencang, sementara kita terseok-seok, terpincang-pincang, bahkan sesekali kaki kita tersandung, kemudian kita mengaduh.
Gedang, 14 Rabiul Awwal 1437 H