Alhamdulillah, ketika hamba masih diberikan kesehatan dan kesempatan oleh-Nya. Seperti hari ini, di luar rencana semestinya, dan diantara selingan padatnya jadwal yang tersedia, Allah masih memberikan kesempatan untuk dapat men-tadabburi alam ciptaanNya yang luar biasa indah..
Pulang dari Graha Pena pagi-pagi, ketika kaki sudah melangkah parkiran motor keluar, tiba-tiba beberapa kawan se-profesi lain divisi mengajak ke Kediri. Saya kemudian teringat undangan pernikahan yang disampaikan kawan kami beberapa hari yang lalu. Karena tidak ada persiapan sebelumnya, jadilah celana jeans dan kaos oblong warna hitam dibalut jaket sweeter menjadi teman perjalanan bersama kawan-kawan yang lain itu. Dengan dua mobil yang menyertai keberangkatan kami, satu nyewa dan lainnya milik salah satu kerabat dari kawan kami itu, berangkatlah akhirnya kami ke kota tahu.
Sepanjang perjalanan, saya yang duduknya di bangku paling belakang, sengaja mencari tempat yang pas untuk sekedar menyimpan energi dan melepaskan kantuk yang menyertai. Total delapan penumpang yang termuat di Mobil Nissan Evalia yang kami tumpangi. Perjalanan yang tersendat hanya sekitar jalan Medaeng-Sepanjang itu, akhirnya lancar jaya setelahnya.
Barakallahu laka
Beberapa jam kemudian, sampailah kami di tempat tujuan. Saya yang lebih banyak terbuai layar pulau kapuk selama perjalanan itu tak seberapa paham alamat yang sedang kami singgahi. Sekilas membaca papan petunjuk jalan yang bertuliskam kecamatan Wates. Setelah mobil terparkir, kami bersama menuju TKP (Tempat Kejadian Pernikahan).
Ternyata acara baru saja dimula, kami dipersilakan shahibulubait untuk masuk ke ruang tamu, yang di dalamnya sudah tersedia panganan khas orang punya hajatan. Tak banyak yang kami lakukan, selain saling bercanda-menyegarkan suasana. Tak lupa, kami juga sedikit-sedikit bertanya pada sang empunya hajat; "apa ada calon yang bisa di pilihkan untuk kami yang masih bujang," satu joke-nya yang terlontar seperti itu.
Kawan kami yang sedang berbahagia itu cukup lama men-thaliburrizki di Graha Pena. Kalau tak salah ingat kurang lebih tujuh tahunan. Dan jodohnya ternyata tak jauh-jauh dari tempat kosnya yang ada di Wonocolo gang kulit, kampung yang berada tepat di seberang timur gedung yang juga menjadi markas Jawa Pos itu. Sesi foto bersama seolah menjadi pamungkas, satu persatu kami naik ke panggung pelaminan untuk di jepret sang fotografer. Tak lupa setelahnya ada tradisi amplopan, hehe..barakallahu laka wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma filkhair ^^,
Berkelud-kesah
Rencana kedua setelah menghadiri pernikahan kawan kami, tak lain adalah rekreasi; satu faktor yang menjadi penarik minat saya untuk ikut berangkat bersama. Dalam bayangan, Gunung Kelud tak ubahnya gunung-gunung lain yang banyak ditumbuhi pepohonan di sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Namun, dugaan saya tak sepenuhnya benar.
Setelah mendekati pintu gerbang pertama, kami transit sejenak. Menunggu mobil kawan kami yang lain sembari mencari musala untuk menegakkan salat dhuhur. Setelah mengedarkan pandangan ke segala penjuru mata angin, musala itu akhirnya ditemukan. Berada di ujung timur laut dari tempat parkir mobil kami.
Musala tersebut tak terlalu besar. Hanya ada beberapa kran air di sebelahnya, dan itu pun tak mengeluarkan air semua. Akhirnya, kami mengambil wudlu di wastafel yang berada tak jauh dari tempat wudlu. Heran juga, kenapa hanya air di wastafel yang menyemburkan air, sementara kran untuk wudlu sendiri sepertinya tak bersumber. Karena desain musalanya yang terbuka, jadi banyak debu menempel di lantainya. Di tambah juga buangan sampah yang letaknya hampir berdekatan dengan musala, menimbulkan aroma yang segar-pun tidak, wangi-pun jauh.
Usai membayar tiket masuk enam ribu rupiah per orangnya, mobil kami pun melaju menembus jalanan ke Gunung Kelud yang saat itu agak mendung dan berkabut. Sempat berhenti di 4 Km menjelang masuk ke lokasi wisata. Juru kemudi yang kebetulan kawan kami yang konon pengalamannya sudah cukup banyak di belakang stir itu menyuruh kami untuk turun sebentar dari mobil. Alasan yang diutarakannya adalah karena keterbatasan jenis mesin yang dimiliki mobil Evalia. Konon, mobil matik lebih sulit untuk melaju di jalanan yang menanjak daripada roda empat yang bermesin diesel. Dioperlah dua kali akhirmya dengan Xenia.
Anak Gunung itu Muncul
Empat kilo menjelang parkiran, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Kalau bisa digambarkan dengan kata-kata, mungkin hanya ucapan tasbih yang bisa menyesap dari bibir kami. Mungkin inilah mengapa, ketika banyak orang-orang yang memburu naik gunung, hingga mempertaruhkan nyawa demi mencapai puncaknya, mungkin..sekali lagi mungkin, karena suguhan pemandangannya yang luar biasa tiada duanya.
Dibandingkan dengan atap-atap gedung pencakar langit, gambaran ciptaan dari Sang Maha Khalik ternyata lebih luar biasa. Ada perasaan takjub, manakala kita di tengah-tengah ciptaanNya yang besar dan tinggi. Kita pun merasa kecil dan tak mempunyai daya melawan kebesaranNya.
Setelah puas mengabadikan beberapa jepretan di halaman awal. Halaman awal? Ya, ternyata gunung Kelud menyimpan dua inti destinasi wisata. Yang pertama pemandian air panasnya, dan yang kedua adalah anak gunung Kelud. Saya baru mendengar jika pegunungan yang berada di kawasan Kediri dan Blitar ini mempunyai anak. Dan anaknya sendiri baru terbentuk di akhir tahun 2007 yang lalu. Belum genap sepuluh tahun usianya.
Melewati terowongan yang konon dibangun pada jaman penjajahan Belanda. Cukup gelap, dengan penerangan yang kurang di sisi kanan dan kirinya. Setelah keluar dari terowongan, kami pun disambut dengan pemandangan yang luar biasa indah.
Sebuah gunung yang mereka sebut dengan anak gunung kelud itu, ternyata masih merekah mengeluarkan banyak asapnya. Baru kali ini, saya mendapati pemandangan yang membuat bibir ini tak henti mengucap tasbih. Di kelilingi pegunungan di sekitarnya, gunung itu seolah berteriak lantang menantang. Selain asap-asap yang menyembul disekujur badannya, yang menandakan banyaknya belerang yang terkandung.
Dan fakta yang saya dapat. Bersumber dari tukang foto yang lapaknya tak jauh dari lokasi anak gunung Kelud itu, jika ada danau yang letaknya di tempat anak gunung Kelud. Dan akhirnya airmya habis semenjak 'kelahiran' anak gunung Kelud pada tujuh tahun yang lalu. Banyak warga sekitar yang melarung sesaji dan melakukan ritual yang tak berdasar di danau tersebut. Dari beberapa foto hasil dokumentasi fotografer tersebut, kambing menjadi salah satu hewan yang di larung di danau.
Kenyataan tersebut membuat saya miris dan sedih. Ternyata, banyak masyarakat kita yang masih percaya dengan tahayul dan khurafat. Potensi alam yang sedemikian berlimpah ruah di tanah Indonesia ini, seolah tak berdaya dengan kungkungan tahayul dan tradisi yang tak berdasar. Mereka lebih sibuk dengan ritual, daripada membangun fasilitas, sarana, dan prasana yang teramat kurang.
Jalanan menuju lokasi wisata yang masih banyak berlubang, rest area termasuk musala yang dibiarkan merana meregang nyawa. Hingga aksesibilitas menuju kawasan anak Gunung Kelud itu sendiri yang masih, dan masih sangat minim.
Hingga saya bertanya dalam hati; kenapa para kepala daerahnya saling beradu debat-argumen dalam surat kabar, yang saling meng-klaim kepemilikan Gunung Kelud dengan alasan sumber pendapatan daerah?
Bukankah lebih elok mereka berlomba-lomba meningkatkan sarana dan prasarana yang ada, memperbaiki jalan dan akses menuju lokasi wisata. Tunggulah sampai ada keputusan Gubernur sebagai kepala Provinsi yang akan memutuskan siapa yang berhak mengelola potensi alam pegunungan Kelud, dari mereka yang paling siap merawat dan membangunnya.
Biarlah, meskipun kalah, karena ada kepentingan politis atau yang lainnya. Setidaknya kita sudah menang dalam merancang dan membangun masa depan potensi wisata itu seperti apa.
Biarlah, meskipun nantinya kita kalah. Yang penting kita sudah memahamkan pada seluruh masyarakat, bila alam layaknya anak sebagai titipan. Yang harus dijaga, dikembangkan dengan kasih sayang, tidak merusaknya, dan tidak salah dalam merawatnya.
Saya pun bergumam, mengapa kita seperti kembali ke Jaman Belanda. Senang di adu domba dengan politik devide et impera?
Kesal juga, mengapa harus Belanda yang menjajah kita? Bukan Inggris saja, agar kita maju seperti Malaysia..??
-_-
Pulang dari Graha Pena pagi-pagi, ketika kaki sudah melangkah parkiran motor keluar, tiba-tiba beberapa kawan se-profesi lain divisi mengajak ke Kediri. Saya kemudian teringat undangan pernikahan yang disampaikan kawan kami beberapa hari yang lalu. Karena tidak ada persiapan sebelumnya, jadilah celana jeans dan kaos oblong warna hitam dibalut jaket sweeter menjadi teman perjalanan bersama kawan-kawan yang lain itu. Dengan dua mobil yang menyertai keberangkatan kami, satu nyewa dan lainnya milik salah satu kerabat dari kawan kami itu, berangkatlah akhirnya kami ke kota tahu.
Sepanjang perjalanan, saya yang duduknya di bangku paling belakang, sengaja mencari tempat yang pas untuk sekedar menyimpan energi dan melepaskan kantuk yang menyertai. Total delapan penumpang yang termuat di Mobil Nissan Evalia yang kami tumpangi. Perjalanan yang tersendat hanya sekitar jalan Medaeng-Sepanjang itu, akhirnya lancar jaya setelahnya.
Barakallahu laka
Beberapa jam kemudian, sampailah kami di tempat tujuan. Saya yang lebih banyak terbuai layar pulau kapuk selama perjalanan itu tak seberapa paham alamat yang sedang kami singgahi. Sekilas membaca papan petunjuk jalan yang bertuliskam kecamatan Wates. Setelah mobil terparkir, kami bersama menuju TKP (Tempat Kejadian Pernikahan).
Ternyata acara baru saja dimula, kami dipersilakan shahibulubait untuk masuk ke ruang tamu, yang di dalamnya sudah tersedia panganan khas orang punya hajatan. Tak banyak yang kami lakukan, selain saling bercanda-menyegarkan suasana. Tak lupa, kami juga sedikit-sedikit bertanya pada sang empunya hajat; "apa ada calon yang bisa di pilihkan untuk kami yang masih bujang," satu joke-nya yang terlontar seperti itu.
Kawan kami yang sedang berbahagia itu cukup lama men-thaliburrizki di Graha Pena. Kalau tak salah ingat kurang lebih tujuh tahunan. Dan jodohnya ternyata tak jauh-jauh dari tempat kosnya yang ada di Wonocolo gang kulit, kampung yang berada tepat di seberang timur gedung yang juga menjadi markas Jawa Pos itu. Sesi foto bersama seolah menjadi pamungkas, satu persatu kami naik ke panggung pelaminan untuk di jepret sang fotografer. Tak lupa setelahnya ada tradisi amplopan, hehe..barakallahu laka wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma filkhair ^^,
Berkelud-kesah
Rencana kedua setelah menghadiri pernikahan kawan kami, tak lain adalah rekreasi; satu faktor yang menjadi penarik minat saya untuk ikut berangkat bersama. Dalam bayangan, Gunung Kelud tak ubahnya gunung-gunung lain yang banyak ditumbuhi pepohonan di sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Namun, dugaan saya tak sepenuhnya benar.
Setelah mendekati pintu gerbang pertama, kami transit sejenak. Menunggu mobil kawan kami yang lain sembari mencari musala untuk menegakkan salat dhuhur. Setelah mengedarkan pandangan ke segala penjuru mata angin, musala itu akhirnya ditemukan. Berada di ujung timur laut dari tempat parkir mobil kami.
Musala tersebut tak terlalu besar. Hanya ada beberapa kran air di sebelahnya, dan itu pun tak mengeluarkan air semua. Akhirnya, kami mengambil wudlu di wastafel yang berada tak jauh dari tempat wudlu. Heran juga, kenapa hanya air di wastafel yang menyemburkan air, sementara kran untuk wudlu sendiri sepertinya tak bersumber. Karena desain musalanya yang terbuka, jadi banyak debu menempel di lantainya. Di tambah juga buangan sampah yang letaknya hampir berdekatan dengan musala, menimbulkan aroma yang segar-pun tidak, wangi-pun jauh.
Usai membayar tiket masuk enam ribu rupiah per orangnya, mobil kami pun melaju menembus jalanan ke Gunung Kelud yang saat itu agak mendung dan berkabut. Sempat berhenti di 4 Km menjelang masuk ke lokasi wisata. Juru kemudi yang kebetulan kawan kami yang konon pengalamannya sudah cukup banyak di belakang stir itu menyuruh kami untuk turun sebentar dari mobil. Alasan yang diutarakannya adalah karena keterbatasan jenis mesin yang dimiliki mobil Evalia. Konon, mobil matik lebih sulit untuk melaju di jalanan yang menanjak daripada roda empat yang bermesin diesel. Dioperlah dua kali akhirmya dengan Xenia.
Anak Gunung itu Muncul
Empat kilo menjelang parkiran, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Kalau bisa digambarkan dengan kata-kata, mungkin hanya ucapan tasbih yang bisa menyesap dari bibir kami. Mungkin inilah mengapa, ketika banyak orang-orang yang memburu naik gunung, hingga mempertaruhkan nyawa demi mencapai puncaknya, mungkin..sekali lagi mungkin, karena suguhan pemandangannya yang luar biasa tiada duanya.
Dibandingkan dengan atap-atap gedung pencakar langit, gambaran ciptaan dari Sang Maha Khalik ternyata lebih luar biasa. Ada perasaan takjub, manakala kita di tengah-tengah ciptaanNya yang besar dan tinggi. Kita pun merasa kecil dan tak mempunyai daya melawan kebesaranNya.
Setelah puas mengabadikan beberapa jepretan di halaman awal. Halaman awal? Ya, ternyata gunung Kelud menyimpan dua inti destinasi wisata. Yang pertama pemandian air panasnya, dan yang kedua adalah anak gunung Kelud. Saya baru mendengar jika pegunungan yang berada di kawasan Kediri dan Blitar ini mempunyai anak. Dan anaknya sendiri baru terbentuk di akhir tahun 2007 yang lalu. Belum genap sepuluh tahun usianya.
Melewati terowongan yang konon dibangun pada jaman penjajahan Belanda. Cukup gelap, dengan penerangan yang kurang di sisi kanan dan kirinya. Setelah keluar dari terowongan, kami pun disambut dengan pemandangan yang luar biasa indah.
Fanani dengan latar foto anak Gunung Kelud-roelsphoto |
Anak Gunung Kelud-roelsphoto |
Kenyataan tersebut membuat saya miris dan sedih. Ternyata, banyak masyarakat kita yang masih percaya dengan tahayul dan khurafat. Potensi alam yang sedemikian berlimpah ruah di tanah Indonesia ini, seolah tak berdaya dengan kungkungan tahayul dan tradisi yang tak berdasar. Mereka lebih sibuk dengan ritual, daripada membangun fasilitas, sarana, dan prasana yang teramat kurang.
Jalanan menuju lokasi wisata yang masih banyak berlubang, rest area termasuk musala yang dibiarkan merana meregang nyawa. Hingga aksesibilitas menuju kawasan anak Gunung Kelud itu sendiri yang masih, dan masih sangat minim.
Hingga saya bertanya dalam hati; kenapa para kepala daerahnya saling beradu debat-argumen dalam surat kabar, yang saling meng-klaim kepemilikan Gunung Kelud dengan alasan sumber pendapatan daerah?
Bukankah lebih elok mereka berlomba-lomba meningkatkan sarana dan prasarana yang ada, memperbaiki jalan dan akses menuju lokasi wisata. Tunggulah sampai ada keputusan Gubernur sebagai kepala Provinsi yang akan memutuskan siapa yang berhak mengelola potensi alam pegunungan Kelud, dari mereka yang paling siap merawat dan membangunnya.
Biarlah, meskipun kalah, karena ada kepentingan politis atau yang lainnya. Setidaknya kita sudah menang dalam merancang dan membangun masa depan potensi wisata itu seperti apa.
Biarlah, meskipun nantinya kita kalah. Yang penting kita sudah memahamkan pada seluruh masyarakat, bila alam layaknya anak sebagai titipan. Yang harus dijaga, dikembangkan dengan kasih sayang, tidak merusaknya, dan tidak salah dalam merawatnya.
Saya pun bergumam, mengapa kita seperti kembali ke Jaman Belanda. Senang di adu domba dengan politik devide et impera?
Kesal juga, mengapa harus Belanda yang menjajah kita? Bukan Inggris saja, agar kita maju seperti Malaysia..??
-_-