Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

29 August 2016

Olahragawan atau Pustakawan?

Dua profesi itu pernah dan sedang saya jalani. Pernah bergelut di atas matras Judo kurang lebih tiga tahun ketika menjadi siswa-atlet SMA Negeri Olahraga (Smanor) Jawa Timur. Kini, Allah pulalah yang memperjalankan diri ini hingga sampai menjadi staf perpustakaan, semoga saya boleh menyebut diri pustakawan, hehe..

Di Smanor--sekolah yang menasbihkan dirinya sebagai sekolah pencetak atlet--berkutat dengan keringat adalah hal yang lumrah. Bagaimana tidak, ketika pagi dan sore diharuskan memeras keringat sebelum menuju pertandingan dan bersaing memetik gelar/juara. Menu latihan dua hari sekali itu tidak lain menjadi fardhu 'ain, selain menambah jatah latihan sendiri pada siang hari atawa malamnya.

Saya sendiri memilih olahraga Judo karena melihat peluang. Disamping ajakan dari saudara tetangga yang sebelumnya sudah menjadi atlet di sekolah yang berada di kawasan Pondok Jati Utara itu. Sebelum mencemplungkan diri di olahraga bantingan asli Jepang itu, saya pernah mencoba "peruntungan" tes atletik nomor lari sprint dan akhirnya gagal, hiks. Itulah yang kemudian membuat saya banting stir menjajal beladiri yang mengutamakan teknik bantingan, kuncian dan randori (permainan bawah).

Imam Moehasib, seorang takmir Mushala Nurul Huda pernah berpesan, jika kekuatan manusia hanya ada tiga; berikhtiar, berdoa, dan bertawakal pada ketetapan Allah Ta'ala. Kata ikhtiar dan doa itulah yang menjadikan mindset di pikiran saya mengatakan, tidak ada yang tidak bisa selama kita berusaha dengan kemampuan maksimal kita. Tiada pernah berhasil jika kita tidak pernah mencobanya. Begitulah, pola pikir yang saya resapi dari beberapa kajian dengan bekal siraman ruhani yang memperkokoh jiwa untuk selalu bersikap optimis terhadap apa-apa saja ketentuan dari Allah Ta'ala.

Keyakinan itu pulalah yang mengantarkan diri ini sampai gerbang Graha Pena yang kemudian Allah bukakan takdir berikutnya untuk menuntut ilmu hingga ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Meski harus pula menjalani dua peran--mahasiswa dan pekerja--tak pernah menjadikan diri ini menyerah dengan keadaan dan mengeluh dengan kondisi kekinian.

Allah pulalah jua yang meridhai ketika diri ini menyelesaikan skripsi dan berwisuda di Graha Pena, tempat pertama kali menerima gaji sebagai karyawan profesional. Kata Mas Syahrul, tidak ada yang pernah terjadi secara kebetulan. Dalam Al Quran, bahkan daun yang jatuh sudah tertulis dan menjadi catatan. Begitupun dengan semua yang pernah kita lalui dan akan kita perjuangkan.

Kini, ketika takdir Allah menghantarkan pada sebuah fase baru, dimana amanah yang teremban semakin besar dan berat. Kita perlu merenungkan kembali kekuatan yang Allah berikan pada manusia. Berikhtiar dengan maksimal, berdoa dengan sungguh-sungguh dan berkeyakinan. Bekal tawakal, jika Allah tak pernah menganiaya hamba-hambaNya.

SK (surat keputusan) yang diterima tahun ketiga di sekolah ini: menjadi pendidik mata pelajaran Penjas, menerima amanah menjadi takmir masjid sekolah, serta, ketika diri ini mendapat kepercayaan dan tanggung jawab untuk menjadi staf perpustakaan. Belajar dan terus belajar. Akan banyak tantangan yang dihadapi, Menguatkan diri untuk terus menerus dalam jalan keridhoanNya.

Satu anugerah menjadi perpustakaan terbaik se-kabupaten tingkat kabupaten telah teraih. Ya, Perpustakaan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, dinyatakan terbaik kedua dalam lomba perpustakaan tingkat kabupaten yang diadakan Perpusda Sidoarjo. Semoga September nanti, ketika penyerahan piala oleh Bupati Sidoarjo dapat menjadi kado termanis dan pemicu untuk terus berprestasi. Semoga!


Bulusidokare, 290816


Mengakhiri tulisan ketika adzan Isya berkumandang







16 August 2016

Memerdekakan Bambu

Bambu. Apa yang anda bayangkan ketika menyebut nama rumput ajaib tersebut? Mungkin dari kita ada yang langsung membayangkan sebuah alat yang digunakan arek-arek Suroboyo ketika melakukan perlawanan terhadap sekutu? Atau ada pula pikiran kita melanglangbuana pada zaman ketika batu bata keberadaannya masih sangatlah terbatas? Jika masih belum ngeh atau masih mengernyitkan dahi ketika ditanya tentang bambu, sepertinya kita masih memperbudak bambu. Lho?!?

Surga bambu salah satunya adalah Indonesia. Banyak jenis bambu yang tumbuh subur di tanah gemah ripah loh jinawi itu. Dari beragam jenis bambu yang trubus, masing-masing mempunyai fungsi dan manfaat yang berbeda. Sayangnya, dalam gemebyar tanamanan bambu di nusantara,mayoritas masyarakat masih enggan untuk memanfaatkan bambu secara maksimal.  
Bayangkan, sejak zaman penjajahan hingga sebelum reformasi digulirkan, bambu hanya menjadi komoditi yang belum bernilai ekonomis. Paling banter dalam catatan sejarah, ketika bambu—yang sudah diruncingkan—menjadi senjata andalan melawan tentara sekutu, dan kini dibuatkan monumen untuk mengenangnya. Sekedar itu? Iya! Atau kalo tidak, pernah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sebelum mengenal kemodernan dengan memasangnya pada dinding maupun langit-langit rumah. Nasib bambu masih merana, hingga kini.

Membaca berita Jawa Pos kian membuat hati ini miris. Ketika bambu-bambu kita dimanfaatkan Malaysia untuk membangun masjid bambu yang konon nilainya mencapai milyaran. Ya, di tanah jiran, bambu menjadi digdaya. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan komoditi yang ramah lingkungan untuk pembangunan. Para pakar bambu di datangkan dari Jogjakarta. Banyaknya bambu jangan dibilang, panjang bambu 12 meter dikirim hingga tiga kontainer! Lagi-lagi kita tertinggal. Angka milyaran itu saya kira sebanding dengan ketahanan bambu yang katanya bisa awet hingga 70 tahun. Super!

Kita harusnya tidak kalah. Kita pun tak semestinya tertinggal. Potensi sumber daya bambu kita melimpah. Pakar kebambuan dari berbagai daerah pun tak pernah kehabisan stok. Hanya, ketika kita bicara tentang mentalitas, kita akui jika memang menjadi kelemahan kita. Mentalitas kita masih belum menghargai para pakar yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk meneliti bambu. Kita—untuk tidak menyalahkan pemerintah—seringkali abai dengan nasib mereka. Maka ketika banyak negara memanfaatkan kebrilianan pikiran mereka, kita hanya bisa menonton, sambil menghisap jari kelingking.

Mentalitas kita pun masih sering terjajah dengan lebih memandang hijau rumput hasil karya negara lain. Komoditi dalam negeri acapkali menjadi terpinggirkan hanya gegara terlampau seringnya kita silau dengan pelbagai produk bermerk yang berlabel impor. Pikiran kita masih tersugesti, jika produk impor yang mahal pastilah bermutu baik dan awet. Produk sendiri dan buatan dalam negeri nanti dulu.

Itulah fakta. Kita hidup di negara dengan mentalitas terjajah. Para peneliti bambu sedih ketika mendengar stigma masyarakat kita. Mereka—masyarakat kita—menganggap bambu hanya diperutukan hanya untuk orang miskin.

Jangan nterpana jika tiba saatnya kita disentakkan dengan akselerasi negeri-negeri jiran yang dengan leluasa mengekploitasi kekayaan alam kita, disaat yang sama kita masih menutup mata dan telinga.
Maafkan para pahlawan, kami masih mengisi kemerdekaan dengan cara-cara yang kurang substantif. Kami hanya mampu beli bambu untuk memasang bendera, umbul-umbul, dan kerlap-kerlip lampu jalanan. Kami belum mampu melangkah mengangkat bambu seperti dulu. Jika dulu dalam keterbatasan, bambu mampu merebut kemerdekaan. Kini, bambu hanya komplementer. Dibutuhkan dan digunakan dalam momen-momen tertentu..

Salam bamboe,
Bulusidokare, 160816


Resolusi Kemerdekaan RI: Menulis atau Mati!

Menjelang kemerdekaan, perlu kita mereformasi diri. “Merevolusi mental,”kata Pak Jokowi. Agar kemerdekaan lebih bermakna dan menjadi tonggak perubahan, baik bagi diri sendiri maupun untuk khalayak. Bukan itu saja, namun juga membredel niat pada khittahNya: beribadah.  

Beribadah dengan tujuan vertikal, dan tentu efek horizontal tidak lain agar bermanfaat untuk umat. Utamanya memberikan inspirasi dan berbagi pengalaman.  Lantas, mengapa harus dengan tagline menulis atau mati? Nggak ada yang lebih serem, hehe..

Adalah Much. Khoiri dengan karyanya Pagi Pegawai Petang Pengarang (P4). Berserak diantara buku baru yang barusan diborong tim Perpustakaan Musasi saat pengadaan buku baru. Tulisan dosen Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unesa itu renyah untuk dikunyah, eh dibaca. Buku yang baru terlahap setengahnya itu memberi efek kejut. Melecut diri agar terus-menerus menulis. Tiada hari tanpa menulis, menulis setiap hari. Ibarat makanan, jika tidak makan ya mati. Begitulah.

Slogan tersebut juga mengadopsi semangat dari dosen bahasa Inggris itu agar ghirrah dalam menulis tetap menyala dan membara dalam dada. Menurut Pak Khoiri, tak ada teknik khusus dalam menulis. Hanya butuh tekad dan keistiqomahan. Selain itu juga harus membulatkan niat dan harus mau keluar dari zona nyaman, keterbatasan waktu adalah salah satunya. Khusus poin terakhir, keterbatasan waktu seringkali menjadi kambing hitam. Sering digaungkan ketika ditanya ihwal ketidakberdayaan dalam menulis produktif, atau dalam istilah lain istiqomah dalam jalalan menulis.

Menulislah dan terus menulis, pesan beliau acap kali dalam buku bergizi tersebut. Dengan selalu menulis, maka teknik menulis akan terbentuk dengan sendirinya. Barangkali kita juga harus melek fakta, jika bakat menulis hanya menyumbang 5%, sisanya yang lain disebar dengan keberuntungan 5% dan kerja keras 90%. Atas dasar tersebut, kita harus meyakini jika tidak ada yang tidak mungkin dengan kepiawaian menulis. Menulis atau menjadi penulis atau pengarang bukan hanya milik sastrawan atau jurnalis. Banyak dari mereka—yang kata Pak Khoiri lintas profesi—bergelut dengan dunia tulisan.

Fakta tersebut nampaknya semakin membuat siapa saja yakin, jika menulis tidak memandang kasta, suku, atau darimana dan berasal dari siapa kita dilahirkan. Keturunan darah biru atau darah putih nampaknya hanya menjadi penghias, bukan modal. Karena menulis tidak membutuhkan itu.

Saya termasuk salah seorang yang menjadi lintas profesi, dari mahasiswa-pekerja menjadi seorang pendidik-guru. Lika-liku perjalanan yang akhirnya menjadi pendidik di sekolah menengah pertama—dan itu belumlah final, menurut saya, hehe—membuat saya berpikir untuk sedikit membagi kisahnya.
Pengalaman selama menjadi mahasiswa-pekerja. Suka dukanya menjadi anak kost atau bagaimana rasanya ketika diterpa hujan maupun diterjang panas kala perjalanan dari kos-kosan menuju Graha Pena,tak lain merupakan inspirasi menulis yang memang Allah limpahkan ayat-ayat iqra’nya. Tinggal bagaimana kita menjaring dan mengejawantahkan dan menuangkannya dalam lekuk-lekuk tulisan yang indah dan bermakna.

Pertanyaannya sekarang, bisakah diri ini istiqomah menjalankan itu semua. Bisa, insya Allah bisa! Dengan memenej kembali waktu, dari membuka mata sampai menutup mata kembali, pasti ada yang ‘tersangkut’ dalam ‘jaring’ memori dan ‘tertuang’ dalam ‘kaleng’ keyboard.

Jika seperti itu, selayaknya kita memekikkan kata merdeka dengan antusias, ketika nanti ada karya kita yang terbit. Dibaca khalayak, dan menjadi prasasti untuk anak cucu. Bismillah.(*)


Perpus Musasi, 150816
Terjerembab Inspirasi_