Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

29 May 2015

Kisi-kisi UKK Penjasorkes Kelas 8 SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo

Tanpa terasa hari ini tatap muka terakhir pembelajaran Penjas kelas 8. Rabu lusa (3/6) sudah dimulai UKK. Bagi yang belum dapat kisi-kisi UKK Penjasorkes kelas 8 Semester II 2014-2015 bisa mengunduhnya disini.

Salam jumpa generasi emas Musasi. Tahun ajaran baru sudah menantimu. Tetap semangat menggapai cita-citamu, tetaplah ikhlas hanya berharap pada Rabbmu. Aamiin :)







*gambar: @roelsebloe

26 May 2015

Malu dan Mentalitas Bangsa Kulit Gosong


Ahad pagi saya mengantar adik kembali ke kampus. Berangkat dari Porong dengan motor merah perjuangan. Seperti biasa, raya Porong jadi langganan motor kami. Jalan yang di sebelah timurnya membentang tanggul lumpur itu berbeda kontras dengan pemandangan di sisi baratnya. Hamparan bangunan yang rata dibongkar lebih banyak mendominasi. Selebihnya hanya alang-alang dan tumbuhan liar yang merajai.

Pemandangan saya tertimpuk pada motor yang diparkir di tepi jalan. Tak jauh dari motor tersebut seorang laki-laki berdiri. Membelakangi jalan raya, tanpa malu-malu kemudian menuntaskan hajatnya. Ya, pengendara motor tersebut dengan rasa percaya dirinya (maaf) kencing di tepi jalan. Jika itu dilakukan saat malam, saya menjadi lumrah, tapi ini dilakukan pagi hari, saat matahari sudah bersinarl terang, dan pemandangan menjadi gamblang. Astaghfirulah, saya berdoa, semoga adik perempuan saya tidak melihat pemandangan yang di banyak negara masuk daftar pelanggaran berat.  

Saya tidak bisa membayangkan mengapa dengan populasi yang mayoritas muslim, negara kita ini menanggalkan rasa malunya. Mereka salat dan menjalankan puasa, tapi kemudian buang apa-apa sembarang saja. Jika untuk membuang barang najis saja seperti air seni sendiri, mereka tidak punya rasa malu. Apalagi untuk membuang sampah dan mengotori lingkungan.

Membandingkan dengan Singapura yang terkenal bersih saya jadi ngiri. Mendengar negeri singa itu menerapkan denda besar bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, saya jadi sakit hati. Dan sakitnya itu di…(halah). “Ada yang salah dengan negeri ini?” pikir saya. Salah karena dijajah Belanda, bukan Inggris. Salah karena dijajah terlalu lama hingga 3,5 abad lamanya. Hingga mentalitas terjajahnya sampai beberapa turunan.

Guru SMA saya yang kini menjadi kepala sekolah pernah memberikan nasehat. Karena terlalu lamanya terjajah, bangsa kita terbentuk mentalitas terjajah. Bangsa terjajah yang mempunyai mentalitas terjajah, yang salah satu diantaranya adalah mentalitas anti malu. Bangsa kulit gosong—begitu beliau menyebutnya—tak lain adalah sebutan untuk bangsa dengan mentalitas inlander. Mentalitas inlander akut salah satunya adalah tak berani menegakkan kepala. Malu tidak pada tempatnya, dan merasa bisa padahal aslinya tidak bisa apa-apa.

Dua mentalitas terakhir rupanya kembali menyeruak dalam trending topic terkini. Malu dan rumangsa bisa menjadi cerminan jika bangsa kita masih belum lepas dari mental tertindas. Kisruh PSSI dan Kemenpora yang berlarut-larut seolah merupakan gambaran nyata jika bangsa yang lepas dari penjajahan berkat rahmat Allah semata ini masih berkutat dengan masalahnya sendiri. 

Kemenpora sebagai otoritas tertinggi pemegang kebijakan olahraga bertindak overprocedur. Di bawah kendali Imam Nahrawi yang tak lain merupakan politisi, Kemenpora masuk dalam lubang jarum. Alih-alih lepas dan mengurai masalah yang membelit PSSI, campur tangan pemerintah melalui Kemenpora membuat masalah semakin semrawut. Pembekuan PSSI tanpa disertai blue print kompetisi pengganti menjadikan sepak bola nasional diambang sanksi.

29 Mei 2015 adalah batas akhir yang diberikan FIFA agar pemerintah (Kemenpora) tidak memberikan intervensi dalam urusan si kulit bundar. Lepas dari batas waktu yang ditentukan, kiamat kecil bagi persepakbolaan nasional. Kabar gugatan PSSI terhadap SK Kemenpora yang dikabulkan PTUN setidaknya membawa angin segar. Sepak bola tetaplah sepak bola, biarkan bola tetap bundar dan menggelinding di lapangan. Jangan pernah membawanya keluar menuju panggung politik yang liar.

Porong, 260515

*gambar: http://www.girlslife.com/



Dilema Sepak Bola di Negara Berpenduduk 220 Juta Jiwa

Opini Jurnalistik Olahraga | 13 Desember 2012


Sabtu (1/12) seharusnya menjadi hari yang indah khususnya bagi Timnas dan seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, unggul sementara di grup B dan memuncaki klasemen pada perhelatan Piala AFF 2012. Indonesia yang pada pertandingan terakhirnya hanya membutuhkan hasil seri melawan tuan rumah Malaysia, harus gigit jari dan menelan pil pahit kekalahan dua gol tanpa balas. Kekalahan Timnas Garuda atas Timnas Harimau Malaya-julukan Timnas Malaysia, seperti mengulang kembali kekalahan yang dialami pada perhelatan Piala AFF 2010 lalu. Ketika itu, Timnas Merah Putih yang masih dibesut Alfred Riedl harus bertekuk lutut saat bersua Laskar Negeri Jiran di babak final. Kalah 3-0 pada laga away di kandang Malaysia, Indonesia hanya mampu membalasnya dengan skor 2-1 di Jakarta. Indonesia pun kalah agregat 4-2 dan mengubur dalam-dalam impian menjadi juara.

Awan kelabu prestasi sepak bola Indonesia, sepertinya tak mau beranjak dan tetap menaungi dunia persepakbolaan nusantara. Karut marutnya sistem kompetisi, kurang tegasnya peran pemerintah, hingga dualisme kepemimpinan di tubuh PSSI, seolah menjadi salah satu sebab gagalnya Timnas Indonesia menggapai puncak prestasi. Jangankan berbicara di level Piala Dunia, untuk tingkat ASEAN saja, Timnas kita belum menunjukkan taringnya. Faktor terakhir, dualisme kepemimpinan seolah menjadi momok seretnya prestasi Timnas dalam dua tahun terakhir.

KPSI (Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia) mendeklarasikan diri sebagai tandingan PSSI sebagai upaya perlawanan atas ketidakadilan yang dilakukan Induk Organisasi Sepak Bola Indonesia itu terhadap kubu yang sebelumnya mendukung Nurdin Halid. Djohar Arifin Hussein sebagai pemegang otoritas tertinggi Induk organisasi itu pun meradang. Dampaknya pun bisa diprediksi. PSSI tak mengakui adanya liga bentukan lain, selain IPL (Liga dalam naungan PSSI). ISL (Indonesian Super League) yang menjadi liga tandingan IPL (Indonesian Premier league) di blacklist. Ultimatum pun diberikan, yang intinya, tidak mengakui pemain, pelatih, wasit, dan perangkat pertandingan lainnya yang terlibat di liga tandingan PSSI tersebut.

Ketika Joint-Comittee (JC) yang diprakarsai FIFA ingin menyatukan dua kubu yang berseteru pun akhirnya tak mampu. Kesepakatan yang sudah diteken pun akhirnya buyar, dan kedua kubu kembali memegang teguh kemauannya.  Para pemain yang merumput bersama klub ISL, dilarang bergabung Timnas. Atas keputusan itu, tak ada lagi nama-nama layaknya Firman Utina, Ahmad Bustomi, Patrich Wanggai, atau Christian Gonzales. Yang ada malah nama-nama pemain IPL yang bisa dikatakan minim skill dan belum teruji jam terbangnya. Pemain-pemain naturalisasi, seperti Raphael Maitimo, Toni Cussel, maupun Johny van Baukering pun belum menunjukkan skill terbaiknya.

Sulitkah Mencari Sebelas Pemain?

Jumlah penduduk terbesar kelima sedunia belum menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menunjukkan prestasi terbaiknya. Dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia yang ada di negara kita tercinta, tak sulit sebenarnya mencari sebelas pemain hebat untuk dibentuk menjadi Timnas yang kuat. Kita mestinya malu dengan Malaysia yang tak mempunyai pemain Naturalisasi tapi mampu menunjukkan prestasi. Bahkan bisa mengalahkan Timnas kita yang diperkuat sejumlah pemain impor yang masih diragukan nasionalismenya. Dua kali kekalahan beruntun dari Tim Harimau Malaya, seharusnya menjadi cambuk dan cermin bagi pemegang tertinggi otoritas persepakbolaan nasional. Jangan sampai dualisme kepemimpinan menjadi masalah yang berlarut-larut yang tak berkesudahan, yang berpengaruh tak hanya pada terhambatnya prestasi Timnas, namun juga pada iklim persepakbolaan nasional. Kita tak ingin karut marutnya persepakbolaan nasional malah menjadikan Indonesia menuai sanksi FIFA.

Jauhkan Sepak Bola dari Kepentingan Politis!

Pertarungan dua partai politik diduga juga berpengaruh dalam karut-marutnya persepakbolaan nasional yang tak kunjung usai. Dua partai yang berlatar belakang berbeda dan mempunyai kepentingan yang tak sama, menjadi salah satu faktor mandegnya prestasi dan iklim persepakbolaan Indonesia. Kita semestinya berkaca pada Thailand yang dalam beberapa tahun yang lalu juga diwarnai kisruh politik yang sempat membuat perekonomian negeri Gajah Putih tersebut ambruk. Namun, yang  perlu digarisbawahi, meskipun perekonomian dan stabilitas keamanann terganggu, namun iklim persepakbolaan negara yang bermata uang Baht itu tetap berjalan kondusif, urusan politik tidak sampai mencampuri.

Bila kita menengok kembali kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI, perlunya ketegasan pemimpin dari Menteri sebagai pembantu Presiden, agar dapat membuat regulasi dalam kepemimpinan yang berintegritas. Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai pemegang komando kepemimpinan diatas ketua umum PSSI, seharusnya memberikan efek jera terhadap para provokator yang menghambat laju prestasi persepakbolaan nasional.

Diatas itu semua, upaya menyatukan kembali kepemimpinan dalam tubuh organisasi sepak bola terbesar di Indonesia ini wajib diwujudkan bersama agar negeri dengan rakyat yang mayoritas penyuka si kulit bundar ini dapat berbangga diri dengan tim nasionalnya. Dan, tentunya iklim kompetisi yang kondusif akan menarik pihak sponsor, yang berkorelasi positif terhadap kemampuan finansial klub yang bernaung dibawah organisasi PSSI itu sendiri.


Daftar Pustaka:
Harian Jawa Pos, terbitan Minggu, 2 Desember 2012
gambar: http://previews.123rf.com/



15 May 2015

Sidoarjo Ber-Musywil

Tiga hari dua malam kota Sidoarjo dibuat benar-benar padat. Pada tanggal 8-10 Mei 2015 kota Delta menjadi tuan rumah Musywil XV Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur. Dalam Musywil yang mengusung tema “Progresivitas Dakwah Pemuda Muhammadiyah untuk Membangun Islam Berkemajuan” itu akhirnya memilih Pradana Boy ZTF sebagai ketua.

Menjadi jujugan ribuan musyawirin, kabupaten dengan 18 kecamatan itu berupaya dengan sekuat daya dan upaya di tengah keterbatasan dana untuk menyukseskan gawe lima tahunan itu. Terbukti sejak Jumat, komplek Perguruan Muhammadiyah yang juga menjadi Pusat Dakwah Muhammadiyah Sidoarjo tumplek blek didatangi para peserta Musywil dari segenap penjuru kota/kabupaten di Jawa Timur.

Sejak Jumat, Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), sudah mulai menyerbu Sidoarjo Square (lokasi Musywil). Kedatangan Kokam tak lain turut serta dalam apel akbar di Alun-alun Sidoarjo. Selain apel Kokam, pada Sabtu (9/5) rangkaian acara Musywil diawali dengan Pawai dan Tabligh Akbar. Pawai yang diikuti ratusan peserta itu didominasi segenap siswa-siswi sekolah Muhammadiyah se-Sidoarjo.

Usai pawai, gelaran acara dilanjutkan dengan aksi Kokam dan pertunjukan seni beladiri Tapak Suci yang diperagakan ratusan murid SMP-SMA Muhammadiyah se-Sidoarjo. Dalam acara kolosal tersebut turut disaksikan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti yang diusung dalam acara Tabligh Akbar. Selain Pak Mu’ti, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjutak juga hadir dengan rombongan. Tuan rumah yang  terdiri panitia lokal Pemuda Daerah Sidoarjo dan Panitia dari Pemuda Wilayah datang dengan komposisi penuh. Ketua PWM Prof. Thohir Luth, Ketua PWPM Khoirul Abduh, dan ketua PDPM Jasmuri.
 .
Acara Musywil sendiri dilaksanakan pada sore hingga malam hari di Auditorium Smamda. Konon ketika berlangsungnya acara, ruang yang berkapasitas ribuan tempat duduk itu sampai tak muat menampung para Musyawirin yang hadir. Sampai-sampai pada sesi pemungutan suara, karena keterbatasan ruang, dibuatlah sistem kloter. Dimana para Musyawirin diminta untuk melangkah keluar ruangan, dan akan dipanggil satu persatu daerah sesuai nomor urutan yang sudah diundi sebelumnya.

Pemungutan dan penghitungan suara berlangsung hingga Ahad dini hari. Dari enam kandidat yang maju dalam Musywil kali ini, Pradana Boy ZTF., mengungguli suara para kandidat lainnya. Dengan hasil tersebut, Maka mas Boy, panggilannya, memimpin Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur dalam lima tahun kedepan. Tugas dan bisa dikatakan tidak ringan.

Namun, keunggulan jejaring dan intelektualitas dosen UMM tersebut menjadi modal yang sangat diperlukan ketika menatap masa depan Pemuda Muhammadiyah. Dengan modal keilmuan, Pemuda Muhammadiyah masa depan diharapkan dapat mengemban amanah sebagai pelangsung, pelopor, dan penyempurna gerakan. Dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni Pemuda Muhammadiyah mempunyai integritas tinggi dan tak mudah terkooptasi kepentingan. Jika impian itu bisa direalisasikan, besar harapan Pemuda Muhammadiyah tumbuh menjadi sosok organisasi otonom Muhammadiyah yang mandiri dan disegani. Dia akan menjadi kiblat serta mempunyai kemampuan memimpin dalam gerakan pencerahan. Dan tentu kita sangat berharap, dalam komando kepemimpinan yang baru ini ghirrah dakwah tetap ditumbuhkembangkan. Khittah agar dapat melahirkan kader ulama yang intelek dan intelek yang ulama tetap tersemai. Dengan jalan tersebut, insya Allah, Muhammadiyah akan lepas dari awan hitam krisis kader ulama dan kader intelektual. Semoga!

Porong, 150515

Meluruskan niat, Membersihkan hati, Menyucikan diri


7 May 2015

Assalamu’alaikum, Pak Rektor!

Hujan deras sore itu. Rahmat Allah turun dan mengguyur permukaan bumi. Sepanjang jalan Sidoarjo hingga Surabaya pun tak luput dari rintik air langit. Kami berangkat dari Porong. Gedung Balai Pemuda Surabaya siap menyambut tekad kami. Thalibul Ilmi.

Sabtu (2/5) menjadi rangkaian acara Surabaya Islamic Book Fair (SIBF) 2015 di gedung bersejarah itu. Lumrahnya acara SIBF dua-tiga tahun belakangan diadakan di Jatim Expo (JX) atau di DBL Arena. “Mungkin sedang penuh penyewa,”jawab Juhri, kawan seboncengan, seolah mengerti tanda tanya yang melayang di atas kepala. Selain hunting buku-buku berharga miring, undangan Bina Qolam yang tersebar di sosmed membuat langkah roda motor kami terus tergerak.

SMILE: Prof, Muchlas Samani*
Profesor Muchlas Samani, nama yang tak asing lagi bagi kami, khususnya warga Unesa. Rektor periode 2010-2014 itu revolusioner. Gagasan dan kiprahnya akan kami ceritakan di sesi lain. Yang jelas, kedatangan mantan staf ahli Menteri Ppendidikan Bambang Sudibyo itu memantik keingintahuan kami. Diskusi yang bertemakan “Berawal dari Membaca Kini Saatnya Menulis” menghangat. Semangat para peserta mengalahkan guyuran hujan.

Diskusi dimulai ba’da salat Isya’. Mas Oki Aryono, pemegang amanah Bina Qolam yang merasa dirinya hanya pemandu sorak, menjadi moderatornya. Prof. Muchlas malam itu memakai jaket coklat. Beliau berkata dua hari belakangan bisanya hanya tiduran, radang tenggorokannya kambuh. Alhamdulillah, malam itu beliau sudah sehat.

Dalam paparannya, Prof.  Muchlas mengawali akan betapa penting peran dunia tulis-menulis dalam sejarah peradaban manusia. “Jika tidak ada tulisan, mungkin manusia akan tetap seperti ini,” tutur beliau sembari memperlihatkan slide bergambar manusia purba. “Karena tidak ada transfer ilmu pengetahuan yang terjadi,” jelas lulusan teknik mesin IKIP Surabaya tersebut.

Transfer pengetahuan itu rupanya sudah diingatkan oleh Allah dalam ayat “balighu anni walau ayah”, jadi dalam arti yang lebih luas, menyampaikan ayat-ayat Allah tidak terbatas pada ayat-ayat kauliyah (tersurat), namun juga kauniyah (tersirat). Media yang digunakan pun bermacam-macam salah satunya dengan tulisan. “Ada inspirasi apapun, tulislah!” ajak guru besar Unesa itu.

Menulis itu, tambah Prof. Muchlas, ibarat orang belajar bersepeda. Membutuhkan skill atau keterampilan. Semakin sering diasah semakin baik. Mengasah skill menulis tak harus dari buku atau jurnal ilmiah. Dari fenomena yang terjadi di sekitar kita pun bisa menjadi bahan tulisan. “Contohnya seperti sekarang ini, mengapa dua hari terjadi hujan terus menerus. Orang-orang yang tidak belajar mengasah akan menganggap fenomena tersebut adalah hal biasa,” jelas pemilik akun blog muchlassamani.blogspot itu menambahkan.  


Peran membaca buku atau bacaan juga tak kalah penting. Fungsinya tak lain untuk memperkaya tulisan. Dengan membaca, wawasan seorang penulis akan bertambah. Dia (penulis) dapat membuka wacana dari bahan bacaan yang tentu menjadi paradigma bagi setiap pembaca.

Dengan didasari perintah menyampaikan walau hanya satu ayat, maka keikhlasan dalam menularkan tulisan itu perlu menjadi pegangan. “Dengan ikhlas dan berlandas niat menyampaikan ilmu yang bermanfaat, insya Allah akan menjadi pahala yang mengalir sampai nanti kita meninggal” ujarnya.

RESENSI?: Sabar :)
Acara diskusi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab peserta. Beberapa peserta yang bertanya mendapat hadiah buku karya Prof. Muchlas. Kami sendiri Alhamdulillah diberi kesempatan Allah untuk menikmati buku terbaru Prof. Muchlas. Judulnya pun membuat siapa saja penasaran dengan isinya. Di cover depan buku bertebal 266 halaman itu bertuliskan “Mohon Maaf..Masih Compang-Camping, Kumpulan Catatan sebagai Rektor Universitas Negeri Surabaya 2010-2015”. Resensi menyusul ya, hehe..




Salam Literasi,
Porong 070515

FOTO: Para Peserta Diskusi dan Prof. Muchlas Samani
























 *gambar sumber; http://antarajatim.com/

4 May 2015

Pak Guru: Potret Kehidupan “Oemar Bakrie” di Pedalaman Lamongan

“Kau tahu, Musa, apa tanda perbuatan kita akan mengantarkan ke surga?”

“Jika ada setan menghalangi, itulah tanda perbuatan kita benar. Ingatkah kamu kisah Ibrahim ketika ia menerima perintah menyembelih Ismail? Berhari-hari Ibrahim berpikir apakah ini perintah Allah atau sekadar bunga tidur. Ia bawa Ismail ke bukit dengan hati ragu-ragu. Tapi di jalan, iblis menghalang-halangi, maka yakinlah Ibrahim bahwa perbuatan itu benar-benar perintah Allah!” (Cuplikan Novel Pak Guru, hal. 307)

Mendengar kata Guru, pandangan sebagian dari kita akan terlempar pada sosok yang cerdas, penuh kharisma, berwibawa, dan lekat dengan keteladanan bagi muridnya. Namun, tunggu dulu, kita pun perlu menyodorkan sebuah logika: sosok guru juga manusia. Jika sudah demikian, maka tak perlu heran jika banyak kekurangan dan kealphaan dari seorang Umar Bakrie, karena sekali lagi, dia pun manusia. Tapi sejenak kita merenung, selain kembali pada FITRAH sebagai manusia, sosok guru juga harus meluruskan KHITTAH (garis besar perjuangan).

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa guru mempunyai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional serta kompetensi sosial. Nah, melihat kenyataan diatas, guru tak selayaknya menjadi manusia yang sama dengan manusia kebanyakan. Lho? Dalam hal kompetensi kepribadian, jika dianalogikan mahasiswa yang baru lulus kuliah dan mendapatkan nilai IPK, maka seorang guru harus mempunyai kepribadian yang ber-IPK diatas 3,00 atau yang lebih radikal dia harus cumlaude dalam kompetensi kepribadian.

Dalam novel Pak Guru, setidaknya kita dapati gambaran dan dinamika kehidupan guru. Lika-likunya menjadi berharga, ketika banyak nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam novel bertebal 328 halaman ini.

Novel yang berlatar pedalaman Lamongan pada tahun 70-an itu menggambarkan sosok Musa, guru yang baru saja diangkat menjadi kepala sekolah di SDN Sidomulyo. Sebagai guru baru yang belum kenyang pengalaman, dia merasa berat ketika Pak Danutirto, kepala sekolah sebelumnya, menunjuk Musa untuk menerima tongkat jabatan sebagai kepala sekolah yang baru. Musa yang dianggap Pak Danutirto sebagai sosok yang berdisiplin tinggi dan penuh tanggungjawab dalam mengemban tugas dianggap paling cocok untuk menggantikan Pak Danutirto yang harus pensiun.

Padahal, jika melihat peta senioritas, masih ada sosok Pak Sarkowi, guru yang umur dan pengalamannya lebih tinggi dari Musa. Namun, Pak Danutirto mempunyai pandangan lain, maka dia tetap memilih Musa untuk menggantikannya. Karuan saja, keputusan sang kepala sekolah menjadikan iri hati Pak Sarkowi. Sebagai guru paling senior di sekolah yang sekelilingnya daerah pertambakan itu, dia merasa dilecehkan. Sejak Musa diangkat sebagai kepala sekolah baru, api kecemburuan Pak Sarkowi makin membesar. Dia mengannggap Musa anak kemarin sore yang tak pantas menjadi kepala sekolah.

Dalam tiap rapat guru yang dipimpin Musa, Pak Sarkowi selalu mencari alasan untuk enggan menghadiri. Dalam tiap kesempatan bertemu para guru yang lain, Pak Sarkowi selalu menghembuskan api permusuhan pada Musa, sang kepala sekolah. Puncaknya, ketika Musa menolak pengajuan KPN (Koperasi Pegawai Negara) yang diajukannya Pak Sarkowi. Bukan tanpa alasan Musa menolak permintaan tersebut. Menurut Musa, gaji guru yang tak seberapa, lalu banyak potongan, maka guru dikhawatirkan banyak mencari obyekan di luar. Para murid pun yang menjadi korban. Namun, karena sudah diliputi rasa kebencian, kebaikan yang disampaikan Musa tak berarti apa-apa dihadapan Pak Sarkowi.

Lain fragmen, Musa juga berhadapan dengan Bu Eni, guru pindahan dari SDN Alun-alun, sekolah yang berada di kawasan kota. Keinginan awalnya menjadi pegawai kantoran tak kesampaian karena Bapaknya menginginkan dirinya untuk jadi guru. Akibatnya pun bisa ditebak, dia banyak melamun ketika berada di kelas. Raganya berada di depan murid-muridnya, tapi pikirannya melanglangbuana kemana-mana. Penampilannya pun tak seperti kebanyakan guru pada umumnya. Jika digambarkan, sosoknya seperti etalase berjalan. Kegemarannya membaca majalah mode ibukota menuntutnya untuk selalu ikut tren. Gaya hidup dan cara berpakaian pun lebih banyak berkiblat pada majalah mode tersebut.

Ketika para guru pada saat itu paling mentok memakai sepeda pancal, Bu Eni nekat ingin memiliki motor. Setelah pengajuan KPN-nya tak disetujui kepala sekolah, dia memutar otak. Di dekatinya kepala sekolahnya dulu di SDN Alun-alun yang juga adik dari bapaknya itu untuk bisa pinjam KPN. Akhirnya dia menjadi guru pertama di sekolah itu yang memakai motor. Selain bekerja sampingan sebagai pedagang kosmetik pada para ibu-ibu, lama-lama ia juga menjadi joki dalam meloloskan murid-murid SD ke SMP negeri. Bu Eni dikenal mempunyai banyak channel pada orang dalam SMP. Tentu, untuk urusan tersebut tidak gratis, alias pasang tarif. Sebagai kepala sekolah, Musa tak ingin praktik ketidakjujuran tersebut tumbuh subur. Baginya, menuntut ilmu harus diperoleh dengan jalan kebaikan, bukan dengan sogokan.

Mulailah dia menjalani “jihad” memberantas kemungkaran yang terjadi di depannya dengan tangan (kekuasaan sebagai kepala sekolah). Bukan dengan jalan kekerasan, namun dengan cara yang moderat dan elegan, yakni mendatangkan sosok Ustadz. Cara tersebut rupanya ampuh ketika Ustadz tersebut memberikan nasehat pada para walimurid kelas 6 agar tak menggunakan cara-cara haram dalam memuluskan jalan anaknya untuk menuntut ilmu. Walimurid akhirnya lebih banyak menggunakan jalan legal. Musa lega, praktik kotor “bawah meja” tak terulang.

Novel besutan Awang Surya ini merupakan novel persembahan untuk “Musa” Mudjib Sholeh yang tak lain adalah guru, kepala sekolah dan bapaknya. Satu pesan kuat dalam novel ini, jika kita menempuh jalan kebenaran, akan selalu mendapat perlawanan dan hambatan dari setan. Musa tak ingin para guru menjadi sosok konsumtif, sehingga gajinya tak menjadi berkah bagi keluarganya. Dia juga tak ingin cara-cara kotor dilalui, hanya karena keyakinan yang kurang pada keberhasilan. Musa selalu ingat pada nasehat Haji Husin, kakaknya yang juga anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan, ketika sakit dia menyempatkan untuk menguatkan hati Musa.

“Kalau sekarang ini kamu mengajak anak buahmu hidup bener, tapi mereka menolak, itu tanda perbuatanmu benar. Jangan ragu…, hadapi! Insya Allah pertolongan Allah akan datang tepat pada waktunya.”
Judul : Pak Guru
Penulis: Awang Surya 
Penerbit: Ersa-Jakarta (2014)


PENULIS: Awang Surya