Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

30 May 2014

Ketika Pelajaran Pendidikan Jasmani Semakin Menepi

Pagi itu matahari semakin menampakkan sinar cerahnya. Suasana pagi yang sebenarnya pas untuk berolahraga dan memeras keringat penuh semangat tak tampak dari wajah murid-murid sekolah menengah pertama favorit di tengah kota yang terkenal dengan petis udangnya itu. Padahal, hari Jumat biasa digunakan sekolah tersebut untuk berolahraga. Semua penduduk sekolah, mulai dari murid hingga Guru dan Kepala Sekolah semuanya diharuskan berkumpul di lapangan Rusunawa, beberapa kilometer ke timur dari sekolah tersebut.

Memang, kebijakan kepala sekolah untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari berolahraga atau biasa disebut sportday tak ubahnya oase diatas padang pasir yang tandus. Menjadi pelepas dahaga olahraga bagi Guru-Karyawan yang hampir sepekan penuh belum keluar keringatnya. Mengajak untuk sama-sama menggerakkan badan dan menghirup udara pagi yang segar. Sungguh niat yang sungguh mulia dan patut untuk` diapresiasi. Namun sayangnya, kebijakan tersebut kelihatannya belum menampakkan hasil. Ada beberapa faktor yang menurut pandangan calon Guru Olahraga yang belum genap satu semester berada di sekolah tersebut, yang merupakan indikator kurang gregetnya gairah sportday yang berjalan hampir satu semester itu.

Jika ada pepatah mengatakan jantung pendidikan itu ada di kelas, hal tersebut bisa jadi sangat benar. Meskipun olahraga adalah matapelajaran praktik yang lekat kaitannya dengan outdoor atau luar kelas. Namun, materi dan interaksi di dalam kelas tetap diperlukan. Tatap muka dan menjalin emosi antara Guru dan murid yang terjalin dari kelas ke kelas tetap menjadi sarana efektif yang tidak lain menjadi media Guru memahami karakter murid satu persatu, mengidentifikasi potensi tiap-tiap peserta didik dan berusaha menjembatani dan mengembangkan setiap potensi yang dimiliki para murid, siswa, dan/ atau peserta didik.

Kelas (dalam hal ini indoor), menjadi ajang menampilkan kemampuan mengajar yang menarik pada para murid. Di dalam kelas yang kondusif, murid juga akan belajar dari Guru dari apa yang didengar dan disampaikan. Dua kebutuhan dan interaksi antara Guru dan Murid ini menjadikan proses belajar mengajar (PBM) berjalan dengan baik. Guru akan senantiasa memperbaharui proses mengajarnya tiap hari di kelas. Murid juga akan antusias menerima pelajaran dari Guru dan memperhatikan secara seksama apa yang disampaikan Guru.

Hal tersebut yang diimpi-impikan oleh kami, para calon Guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Selama delapan semester/ empat tahun ngangsuh kaweruh di kawah candradimuka Guru Penjasor, yang tak lain di FIK Unesa bertujuan untuk memberikan pendidikan sepenuh hati kepada para murid agar menyadari betapa pentingnya olahraga, baik ditinjau dari aspek jasmani, rohani dan maupun dalam proses kematangan psikis.

Sangat disayangkan bila tiap hari Jumat, para murid diminta dan disuruh dengan bahasa lisan untuk segera menuju lapangan. Belum terciptanya kesadaran jika olahraga itu begitu penting dan sangat dibutuhkan bagi masa pertumbuhan laiknya masa sekolah menengah pertama yang dijalani para murid saat ini. Indikator dan tujuan pendidikan jasmani belum tercapai,  bila aspek kesadaran dan kebutuhan dalam diri masing-masing murid belum ada.

Saya pribadi, ingin bergerak dan menggalang kerjasama dengan semua pihak, baik dengan rekan sejawat sesama Guru Olahraga, maupun dengan Guru-guru lain dalam bidang matapelajaran yang lain. Membangun kembali integritas mata pelajaran Olahraga dimana matapelajaran tersebut menjadikan katalisator semangat para siswa dalam memulai kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Semoga impian saya bisa tercapai, berpikir kreatif dan mengembangkan inovasi yang tak terbatas. Memenggal stigma Guru Olahraga pemalas, yang hanya butuh peluit, mengajarnya pun dibawah pohon mangga dan ditemani segelas kopi dan rokok.  Kegeraman yang kadang harus dibuktikan dengan contoh nyata. Jalan tersebut harus didaki dan diraih. Salah satunya adalah harus segera meraih gelar sarjana, semoga!


29 May 2014

Berkompetisi, Bersaing, dan Berlomba-lomba

Pada postingan sebelumnya, saya sedikit menyentil perihal mental berkompetisi yang sudah kita kantongi semenjak kita masih belum terlahir ke dunia. Dengan status berupa sel sperma, kita berebut, berkompetisi, dan bersaing tidak dengan satu-dua lawan saja, tapi dengan ribuan, bahkan jutaan competitor sel-sel sperma yang lainnya menuju satu tujuan: indung telur!

Sama halnya dengan pertandingan sepak bola. Persaingan menjadi nyata manakala dua tim yang bertanding mempunyai kekuatan yang berimbang. Dua-duanya menampilkan permainan yang sama-sama atraktif untuk bersaing dan berkompetisi menggapai kemenangan. Saling adu strategi dua pelatih di luar lapangan, kedua supporter sama-sama memberikan dukungan yang atraktif pada timnya masing-masing, serta dua puluh dua pemain yang saling menampilkan kemampuan terbaiknya di lapangan hijau dengan porsi peran yang telah ditentukan pelatih kedua kesebelasan. Jadi, bisa disimpulkan, persaingan sepak bola yang sesungguhnya adalah ketika dua tim yang sedang bertanding sama-sama menampilkan kemampuan terbaiknya untuk meraih kemenangan. Mereka sangat yakin dengan ungkapan; bermainlah dengan cantik dan atraktif,  niscaya kemenangan hanya tinggal menunggu waktu!

Jika bicara tentang persaingan, saya jadi teringat masa sekolah enam tahun alias SD dulu. Di jaman yang lekat dengan seragam putih merah tersebut, saya tak ubahnya menjadi petarung yang sangat bernafsu untuk menjuarai sebuah kompetisi. Saya kurang paham apakah faktor sekolah desa sehingga tingkat persaingan menjadi kecil dan tipis. Namun yang perlu digaris bawahi pada saat itu adalah tingkat persaingan yang tidak kalah dengan pertandingan sepak bola, yakni ada partner bersaing yang sama-sama kuatnya.

Dibanding dengan pesaing saya yang tak lain adalah anak seorang guru, rajin, dan kecerdasan yang bisa saya tebak karena faktor buah jatuh yang tak jauh dari pohonnya alias menurun dari kedua orangtuanya. Jika dianalogikan dengan saya yang…ah jika saya sebutkan akan kena ayat tujuh pada surat Ibrahim, jadi ya, Alhamdulillah tidak kalah dengan para partner saingan yang menurut saya sebenarnya kecerdasannya sedikit diatas saya (somsed*).

SMP tak lain merupakan pijakan selanjutnya dari SD, mental-mental petarung sebenarnya masih melekat dalam dada dan jiwa saya hingga awal-awal kelas satu. Kebetulan saat itu saat kelas satu semua siswa diwajibkan masuk siang, karena faktor jumlah kelas yang tidak mencukupi. Jika saya analisa, faktor masuk sekolah pada siang harinya itulah yang menyebabkan prestasi saya sedikit menurun, atau bahkan bisa dikatakan terjun bebas. Masa SMP yang seharusnya dijadikan sebagai tempat mencari jati diri rupanya belum saya temukan hingga tiga tahun tenggat waktu belajar yang diberikan di sekolah yang menjadi favorit nomor satu di kecamatan Porong itu.

Dan, efek belajar yang dijalankan tidak sepenuh hati dampaknya ternyata baru saya rasakan ketika akan mendaftar masuk dan melanjutkan jenjang belajar di SMK. Saya tidak tahu, kenapa saya dulu begitu penurut dan tidak dapat memberikan argumen penolakan pada orangtua. Sehingga ketika orangtua memberi fatwa harus bersekolah di SMK, walaupun dalam hati saya berteriak ketidakcocokan saya dengan pelajaran dan faktor lulusan yang menurut pandangan tak jauh-jauh dari mesin, bubut, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang begitu soro lainnya itu. Maka ketika saya akhirnya menyadari, jika takdir NEM yang tak mencukupi sehingga saya harus gigit jari untuk sekedar masuk SMK Negeri, dan harus merelakan pengalaman terdampar di sekolah swasta, cita-cita yang tak pernah saya bayangkan sebelumya.

Saya seolah dilemparkan ke masa lalu, dimana saya harus menjalani  aktivitas sekolah pada siang hari, waktu dimana anak-anak sekolah negeri senang karena sudah pulang, sementara saya dan banyak kawan-kawan yang lainnya berangkat sekolah dengan ketidakpastian ada gurunya atau tidak, maklum swasta. Tak bertahan lama sebenarnya saya menjadi murid swasta, jika saya pada saat itu, masuk triwulan pertama kelas satu, ketika ada pendaftaran disekolah baru di Sidoarjo dengan beragam akses gratis dan dapat uang saku, saya masuk dan diterima. Tapi ternyata, takdir Allah memberikan saya waktu untuk tetap menahan nafas, hingga satu tahun berikutnya. Atau ketika saya sudah berada di bangku kelas dua..


(*bersambung..menyambung kembali tali-temali tulisan masa lampau, untuk menggambar masa depan..)

26 May 2014

Oktober Bisa!

Kalah adalah hal yang biasa dalam olahraga. Jika tak menang, maka hasilnya adalah imbang atau menelan kekalahan. Para pemain, pelatih, stakeholder, dan pada mereka yang mengaku mencintai olahraga akan sangat mahfum dengan makna menang-kalah dalam olahraga.

Banyak faktor yang bisa dikaitkan atas kekalahan yang menimpa suatu individu atau tim yang sedang bertanding. Bisa karena latihannya yang kurang terstruktur, terukur, dan berkelanjutan.  Bisa juga ketika ditengah pertandingan mengalami cedera sehingga tak mampu melanjutkan jalannya pertandingan dan harus ditandu ke luar arena permainan. Sedang faktor lainnya sungguh beragam, hingga sampai ada yang menyalahkan takdir Tuhan yang menjadi biang keladinya. Poin terakhir itu yang terkadang sering dikambinghitamkan dengan beragam excuse lain yang dipaparkan.

Namun, dalam olahraga kita diajarkan untuk bersikap sportif menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan. Karena bagaimanapun itu, ketika kita sudah berjuang dengan penuh maksimal, dan hasil akhir menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan, kita tak perlu bersedih sebenarnya . Karena bila kita yakin kemenangan itu akan menanti kita setelahnya.

Seperti itulah gambaran sikap saya sebagai makhluk Allah yang masih banyak  berlumuran dosa dan khilaf yang tiada kira. Melihat teman-teman kuliah yang mengikuti  yudisium, hati ini menggelegak penuh Tanya, kira-kira mengapa saya tak bisa seperti mereka? Apa saja yang saya kerjakan sehingga kalah dalam hasil yang telah mereka capai? Kurang sungguh-sungguhkah saya? Atau memang kurang rajin dan banyak ke kampus untuk berkonsultasi dengan dosen? Begitulah kira-kira pertanyaan yang langsung menggelayut di kepala.

Tapi kemudian saya kembali sadar, saya tak sama dengan mereka. Ya, mereka-mereka yang sedang berbahagia dengan yudisiumnya itu. Tapi, pantaskah saya beralasan dengan kesibukan yang ada. Mulai dari menapakan kaki di tiga tempat yang berbeda dalam satu rentang waktu. Cukupkah alasan ketidakmampuan saya mengejar capaian mereka dengan mengatakan. “Saya kan ikut organisasi, sehingga wajar kalau saya tak bisa menyamai mereka?” Begitukah kira-kira?? Atau dengan alasan-alasan lain yang hanya menjadi penghibur sesaat ketidakberdayaan yang sedang menghinggapi? Tidak cukupkah beralasan karena kita sendiri yang tidak merancang jauh-jauh hari, atau karena kita sendiri yang kurang fokus, nir-istiqomah, dan mengabaikan faktor ketawakalan setelah sekuat tenaga berikhtiar.
Sebenarnya tak pantas semua alasan itu. Benar..benar tak pantas.

Karena seharusnya saya menginterupsi diri saya sendiri, menyadari kelemahan dan kekurangan, dan mulai berusaha menyusun strategi untuk menghadapi beragam “perang” yang menghadang di depan.

Karena olahragawan sejati, tak pernah menyalahkan orang lain ketika kalah dalam permainan/ pertandingan. Dia akan mengidentifikasi kelemahan diri, mengevaluasinya, kemudian meng-upgrade beragam keunggulan yang dimilikinya.

Tak pernah terbersit dipikirannya untuk menyerah sebelum mencoba. Pantang kalah, sebelum kaki keluar arena!


Mari berusaha! Karena waktu adalah rahasia dariNya untuk mereka yang beriman, bertaqwa, dan berilmu. Bismillah, Oktober bisa!