Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

19 March 2013

Satu Hari di Peek a Boo


Mendung masih bergelayut di langit kota pahlawan siang itu. Di tengahnya padatnya lalu lintas jalur beraspal, tampak seorang pemuda dengan Ksatria Jepang merahnya melaju membelah jalanan.  Dengan sedikit tergesa, dia memacu kuda besi keluaran tahun 2001-nya itu. “Waktu yang tersisa tinggal tiga puluh menit,” ujarnya dalam hati seraya melirik G-Shock yang tersemat di pergelangan tangan kirinya. Tiga puluh menit merupakan waktu yang cukup lama untuk menempuh perjalanan dengan jarak yang tak sampai dua puluh kilo. Namun, dengan kondisi jalanan yang padat dengan kendaraan yang merayap lajunya, membuat jarak tempuh yang dirasa tak jauh, serasa berjam-jam lamanya.

Berangkat dari rumah kos yang berada di wilayah barat kota Surabaya, seolah menjadi tantangan sendiri baginya, Ya, Darwan, nama pemuda itu, tak hanya mengejar mimpinya untuk menjadi sarjana. Dia mempunyai asa: meraih gelar sarjana tanpa “menengadahkan tangan pada kedua orangtua!” Bukan maksud tinggi hati atau mengesampingkan peran kedua orangtuanya yang senantiasa memanjatkan doa untuk kesuksesannya. Namun, ada optimisme yang ingin dia bangun dengan kemandirian finansial. Prinsipnya, dia tak ingin membebani kedua orangtuanya yang memang sudah banyak tanggungan. Maka, sejak lulus Sekolah Menengah Atas, dia langsung menaikkan tiang harapan dan memancangkan layar target: mendapatkan pekerjaan pertama!

Masih teringat betul di long therm memory-nya, pekerjaan pertamanya saat itu adalah menjajakan produk telekomunikasi buatan luar negeri. Bukan di mal atau pusat-pusat perbelanjaan mewah lainnya. Namun, di tempat-tempat umum seperti SPBU, terminal, maupun di pinggir-pinggir jalan dekat keramaian yang banyak lalu-lalang kendaraan. Tak sampai lama dia bertahan dengan pekerjaan yang membuatnya tak makan seharian itu. Selain jarak tempuh perjalanan dari tempat tinggal menuju lokasi yang cukup jauh, juga karena terdorong faktor beamoda transportasi yang tak memadai. Untuk menuju lokasi tempat bekerjanya yang berada di utara kota Pahlawan, dia harus  menengadahkan tangan kepada orang tuanya, lalu berangkat naik bus yang mengambil start dari terminal kota Udang. Berbekal pemberian lembar dua puluh ribuan, yang terkadang hanya cukup untuk PP (pulang-pergi). Dia pun akhirnya 'melarikan diri' dari pekerjaan pertamanya, yang ternyata baru diketahuinya bernama Salesman. Salesman sehari tepatnya.

Setelah gugur dalam pekerjaan pertamanya, dia masih memiliki tekad baja untuk meraih pekerjaan yang lebih baik. Namun, dengan bekal lembar ijazah SMA, dan tak memiliki bekal keterampilan yang memadai, lamarannya pun diedarkan pada lowongan-lowongan yang berkisar antara buruh pabrik, waiter, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tak memiliki kekhususan keahlian. Dari banyak surat lamaran yang ditujukan, tak sedikit pula yang berlanjut dengan panggilan tes wawancara.

Salah satunya yang datang dari perusahaan rokok multinasional yang berada di kawasan Pandaan. Surat lamaran awalnya dia titipkan pada tetangganya yang kebetulan memberikan informasi bila ada lowongan Pabrik Rokok Gudang Gambar yang lokasi pabriknya berada bersebelahan dengan tempat tetangganya tersebut bekerja. Dengan semangat tujuh enam, dia berangkat sendiri diiringi doa setulus hati dari ibunya.

Sore harinya dia pulang dengan sedikit memendam kekecewaan. Setelah ditanyai ibunya, bagaimana hasil tes wawancaranya, dia hanya menjawab pelan, “Gagal, Bu, susah tesnya.”

“Lho, tesnya seperti apa, Nak..?” tanya ibunya penasaran.

“Darwan khan nggak biasa merokok Bu, tapi Darwan tadi disuruh untuk menciumi satu persatu jenis tembakau yang banyak macamnya..”

“Wong nggak disuruh ngerokok, apanya yang susah Nak, tinggal mencium satu persatu tembakaunya saja khan..??”

“Iya, Bu. Tapi masalahnya, belum sempat mencium tembakaunya, Darwan tadi sudah muntah-muntah. Wong pas masuk pertama kali ke pabriknya saja, kepala Darwan sudah pusing-pusing. Trus, langsung disuruh pulang sama pewawancaranya.”

Sambil menghela nafas, ibunya berkata: “Hmm.. alhamdulillah kalo gitu nak, mungkin rejekimu bukan di asap rokok.” (bersambung)

17 March 2013

(Ternyata) Ada ‘Surga’ di Unesa


Hampir tiga tahun ngangsuh kaweruh di kampus yang dulunya bernama IKIP Surabaya ini, ternyata saya baru menyadari bila ada ‘surga’ di dalamnya.

Judul diatas bukanlah sekuel kedua film, “Tanah Surga Katanya”. Hanyalah catatan pengingat diri, sekedar menuliskan pengalaman yang baru teralami. Perjumpaan dengan ‘surga’, yang bukan dalam arti harfiah yang sebenarnya.

12 March 2013

PTK adalah..?




Photo by: roelsebloecreative@2013
Dalam sepekan ini, mahasiswa FIK Jurusan Pendidikan Olahraga 2010 kelas C dan D bakal disibukkan dengan tugas-tugas kuliahnya. Sama dengan semester sebelumnya, namun kuantitas dan kualitas tugas yang diberikan kali ini cukup menantang. Selain bersiap diri dengan berkas dan persyaratan menjelang PPL. Ada matakuliah PTK yang sudah menunggu dengan tugas pertamanya mendefinisikan pengertian PTK dari 5 (lima) sumber/ referensi yang berbeda.

Drs. Suroto, Ph.D., dosen yang mengampu matakuliah PTK di kelas kami bertipe kompetitif. Mahasiswa diberikan tantangan tugas dan ada deadline ketat untuk mengumpulkannya. Seperti kali ini, para mahasiswa bergegas mencari lima sumber ‘mata air’ PTK dari berbagai referensi yang berbeda. Maksudnya, ada lima sumber/ referensi/ pakar/ ahli yang mendefinisikan: Apa itu PTK? Tak hanya berhenti sampai disitu, dosen kami yang merampungkan pascasarjana dan gelar doktoralnya di Amerika dan Jepang  itu meminta untuk mendokumentasikan hasil yang kita dapat dalam bentuk video.

11 March 2013

Saat 'Warga Bali' Kembali Bermigrasi

Photo by roelsebloecreative@2013


Sama seperti tahun lalu, saat mendekati hari raya Nyepi, teman kami, Zulvicar Azzam kembali pulang ke kampung halamannya. Bukan ke negerinya Kajol dan Shah Rukh Khan, namun ke Magersari, belakangnya Alun-alun kota Udang. Tiap kali kepulangannya ke kampung halaman, ada efek berantai yang akan dibawanya. Setidaknya itulah yang kami rasakan, kawan, sahabat, dan saudara seperjuangannya ketika sama-sama berasrama dan bersekolah di SMA Negeri Olahraga. Entah mengapa, kenangan masa SMA takkan bisa terhapus begitu saja dari Long Therm Memory otak ini..


Ketika Kuliah Ikut-ikutan Kejepit



Senin menjadi hari paling membahagiakan bagi sebagian orang. Dengan posisi diantara Ahad dan Selasa yang sama-sama berwarna merahnya, hari Senin diekspresikan bermacam makna dan aktivitas. Mereka-mereka yang bekerja dibawah otoritas swasta lebih banyak yang masuk kerja. Sedangkan untuk mereka-mereka yang berpenghasilan dari uang rakyat, sebagian ada yang masih tetap beraktivitas layaknya hari Senin biasanya, sebagian yang lain meliburkan dirinya, tergantung kebijakan pimpinan. Tak terkecuali aktivitas kampus.


Kabar dari Sahabat



Syaiful Anshor, sahabat yang sekaligus menjadi saudara seperjuangan di Smanor, tiba-tiba muncul dengan pesan singkatnya. Kemunculannya yang tiba-tiba itu seolah menandaskan keberadaannya yang selama ini diliputi ‘misteri’. Maklum saja, sekian lama ‘berpisah’ setelah lulus SMA, Anshor-panggilannya, seolah ‘menghilang’ dari tangkapan radar teman-teman seangkatan enam. Nomor hape yang diberikannya terakhir kali tak aktif, di cari di search engine sampai di laman FB-pun tak ketemu.

6 March 2013

Menulis Membuat Kita Abadi




Photo by admin KBM 
Judul diatas merupakan tagline dari Komunitas Bisa Menulis (KBM). Salah satu komunitas yang tergabung dalam grup Facebook yang saya ikuti beberapa saat yang lalu. Bergabung dengan komunitas yang dikelola Asma Nadia dan Isa Alamsyah ini seolah menjadi oase bagi diri ini untuk menggali minat menulis yang sempat terpendam dalam. Saking dalamnya, seolah-olah untuk bangkit dari ‘keterpendaman’ dibutuhkan waktu yang tak singkat.


Pak Kyai dan Rumahnya

Allahuyarham Ustadz Abdurrahim Nur, MA.
Bila kau pernah lewat atau berkunjung ke tanah kelahiran-kampung halamanku, Porong. Kau kan dapati hamparan sawah menghijau dengan latar gunung Penanggungan di belakangnya. Udaranya yang tak sepanas Surabaya, dan tak sedingin kota Batu ataupun Malang itu membuat siapa pun betah berlama-lama di kawasan yang terkenal dengan makanan khas tahu campur dan ote-otenya itu. Kampung halamanku juga jauh dari potensi tsunami dan letusan gunung berapi;  karena secara geografis, tanah gemah ripah loh jinawi itu jauh dari kawasan pesisir dan pegunungan tinggi. Selain melihat indahnya pemandangan alam yang masih alami, disana kau juga bisa memuaskan dahaga ilmu agamamu.

Lewatlah sesekali melintasi jalan raya Porong. Bila kau melihat ada sebuah masjid di sebelah utara SPBU, itulah Masjid Nurul Azhar yang terkenal itu. Dari bentuk fisik bangunan tak sebesar Masjid Al Akbar, namun pamor Masjid bersejarah itu tak kalah menasional. Disanalah tonggak peradaban dan pencerahan ilmu di tancapkan. Kau tak hanya diajari baca tulis Al Quran, kau bisa belajar mentadabburi dan mengkaji FirmanNya bersama para jamaah pengajian yang hampir tiap hari menimba ilmu tuk bekal akhirat itu.